Sejarah Pulau Jawa
Isuk
diisi, sore mati
"isuk
diisi, sore mati", adalah simbol untuk pulau Jawa dahulu kala. Jauh
sebelum ajaran Hindu masuk ke pulau Jawa, pulau Jawa banyak berisi makhluk2
gaib, dan yang paling berkuasa adalah makhluk gaib yang mungkin anda sudah tau, yaitu Semar, Togog, Bagong, Petruk, ama Gareng.
Karena kesaktian dan keserakahan kelima makhluk gaib inilah pulau jawa dapat
sebutan isuk diisi sore mati, yang maksudnya pulau jawa tidak bisa dihuni oleh
manusia, jikalaupun dihuni akan terjadi pertumpahan darah diantaranya, baik
karena perang ataupun bencana alam. Kelima makhluk ini berhuni mulai dari ujung
barat sampai ujung timur pulau jawa, yang saya tahu
cuma satu tempat, tempatnya Semar, yaitu di pulau Ismoyo, pantai Balekambang,Malang.
|
Tempat
Semayam Semar, Pulau Ismoyo
|
Ismoyo adalah nama asli Semar sebelum turun ke bumi (cerita
pewayangan)
Aji
Saka
Siapa Aji Saka dan bagaimana
ceritanya, bagi yang dari luar jawa, Aji Saka adalah penemu Huruf Jawa (honocoroko).Ketika Aji Saka menumbali tanah Jawa agar bisa dihuni
manusia. Singkat cerita Aji Saka datang ke pulau jawa dan sudah menciptakan
huruf Jawa. Dalam pengembaraannya dia sadar bahwa tanah Jawa tidak stabil,
sering sekali darah manusia bercucuran dan akhirnya beliau tahu kalau penyebabnya adalah kelima makhluk gaib diatas.
Akhirnya tanah jawa ditumbali (diberi rajah dan doa) untuk bisa dihuni.
Disebutkan Aji Saka berasal dari Bumi Majeti. Bumi Majeti sendiri adalah
negeri antah-berantah mitologis, akan tetapi ada yang menafsirkan bahwa Aji
Saka berasal dari Jambudwipa (
India) dari suku
Shaka
(Scythia), karena itulah ia bernama Aji Saka (Raja Shaka). Legenda ini
melambangkan kedatangan
Dharma (ajaran dan peradaban
Hindu-
Buddha) ke
pulau Jawa. Akan tetapi penafsiran lain beranggapan bahwa kata Saka adalah
berasal dari istilah dalam
Bahasa Jawa saka atau
soko
yang berarti penting, pangkal, atau asal-mula, maka namanya bermakna "raja
asal-mula" atau "raja pertama". Mitos ini mengisahkan mengenai
kedatangan seorang pahlawan yang membawa peradaban, tata tertib dan keteraturan
ke Jawa dengan mengalahkan raja raksasa jahat yang menguasai pulau ini. Legenda
ini juga menyebutkan bahwa Aji Saka adalah pencipta tarikh
Tahun
Saka, atau setidak-tidaknya raja pertama yang menerapkan sistem
kalender Hindu di Jawa. Kerajaan
Medang
Kamulan mungkin merupakan kerajaan pendahulu atau dikaitkan dengan
Kerajaan
Medang dalam catatan sejarah.
Ringkasan
Membawa peradaban ke Jawa
Segera setelah
pulau Jawa dipakukan ke tempatnya,
pulau ini menjadi dapat dihuni. Akan tetapi bangsa pertama yang menghuni pulau
ini adalah bangsa
denawa (raksasa) yang biadab, penindas, dan gemar
memangsa manusia. Kerajaan yang pertama berdiri di pulau ini adalah
Medang
Kamulan, dipimpin oleh raja raksasa bernama Prabu Dewata Cengkar,
raja raksasa yang lalim yang punya kebiasaan memakan manusia dan rakyatnya.
Pada suatu hari datanglah seorang pemuda bijaksana bernama Aji Saka yang
berniat melawan kelaliman Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka berasal dari Bumi
Majeti. Suatu hari menjelang keberangkatannya ia memberi amanat kepada kedua
abdinya yang bernama Dora dan Sembodo, bahwa ia akan berangkat ke Jawa. Ia
berpesan bahwa saat ia pergi mereka berdua harus menjaga pusaka milik Aji Saka.
Tidak ada seorangpun yang boleh mengambil pusaka itu selain Aji Saka sendiri.
Setelah tiba di Jawa, Aji Saka menuju ke pedalaman tempat ibu kota Kerajaan
Medang Kamulan. Ia kemudian menantang Dewata Cengkar bertarung. Setelah
pertarungan yang sengit, Aji Saka akhirnya berhasil mendorong Prabu Dewata
Cengkar ke laut Selatan (
Samudra Hindia). Akan tetapi
Dewata Cengkar belum mati, ia berubah wujud menjadi Bajul Putih (Buaya Putih).
Maka Aji Saka naik takhta sebagai raja Medang Kamulan.
Kisah ular raksasa
Sementara itu seorang perempuan tua di desa Dadapan, menemukan sebutir
telur. Ia meletakkan telur itu di lumbung padi. Setelah beberapa waktu telur
itu hilang dan sebagai gantinya terdapat seekor ular besar di dalam lumbung
itu. Orang-orang desa berusaha membunuh ular itu, akan tetapi secara ajaib ular
itu dapat berbicara: "Aku anak dari Aji Saka, bawalah aku kepadanya!"
Maka diantarkanlah ia ke istana. Aji Saka mau mengakui ular itu sebagai
putranya dengan syarat bahwa ular itu dapat mengalahkan dan membunuh Bajul
Putih di Laut Selatan. Ular itu menyanggupi, setelah berkelahi dengan sangat
sengit dengan kedua pihak memperlihatkan kekuatan yang luar biasa, ular itu
akhirnya dapat membunuh Bajul Putih.
Sesuai janjinya ular itu diangkat anak oleh Aji Saka dan diberi nama Jaka
Linglung (anak lelaki yang bodoh). Di istana Jaka Linglung dengan rakus
memangsa semua hewan peliharaan istana. Sebagai hukumannya sang raja mengusir
dia ke hutan Pesanga. Ia diikat erat hingga tak dapat bergerak, lalu Aji Saka
bersabda bahwa ia hanya boleh memakan benda apa saja yang masuk ke mulutnya.
Suatu hari ada sembilan orang bocah lelaki bermain di hutan. Tiba-tiba turun
hujan, mereka pun berlarian mencari tempat berteduh. Untungnya mereka menemukan
sebuah gua. Hanya delapan anak yang masuk berteduh ke gua itu. Seorang anak
yang menderita penyakit kulit dilarang ikut masuk ke dalam gua. Tiba-tiba gua
runtuh dan menutup pintu keluarnya. Delapan orang bocah itu hilang terkurung di
gua. Sesungguhnya gua itu adalah mulut Jaka Linglung.
Asal mula aksara Jawa
Sementara setelah Aji Saka memerintah di Medang Kamulan, Aji Saka mengirim
utusan pulang ke rumahnya di Bumi Majeti untuk mengabarkan kepada abdinya yang
setia Dora and Sembodo, untuk mengantarkan pusakanya ke Jawa. Utusan itu
bertemu Dora dan mengabarkan pesan Aji Saka. Maka Dora pun mendatangi Sembodo
untuk memberitahukan perintah Aji Saka. Sembodo menolak memberikan pusaka itu
karena ia ingat pesan Aji Saka: tidak ada seorangpun kecuali Aji Saka sendiri
yang boleh mengambil pusaka itu. Dora dan Sembodo saling mencurigai bahwa
masing-masing pihak ingin mencuri pusaka tersebut. Akhirnya mereka bertarung,
dan karena kedigjayaan keduanya sama maka mereka sama-sama mati. Aji Saka heran
mengapa pusaka itu setelah sekian lama belum datang juga, maka ia pun pulang ke
Bumi Majeti. Aji saka terkejut menemukan mayat kedua abdi setianya dan akhirnya
menyadari kesalahpahaman antara keduanya berujung kepada tragedi ini. Untuk
mengenang kesetiaan kedua abdinya maka Aji Saka menciptakan sebuah puisi yang
jika dibaca menjadi
Aksara Jawa hanacaraka.
Susunan alfabet aksara Jawa menjadi puisi sekaligus
pangram
sempurna, yang diterjemahkan sebagai berikut.:
Hana caraka Ada dua utusan
data sawala Yang saling berselisih
padha jayanya (Mereka) sama jayanya (dalam perkelahian)
maga bathanga Inilah mayat (mereka).
secara rinci:
hana /
ana = ada
caraka = utusan (arti sesungguhnya, 'orang kepercayaan')
data = punya
sawala = perbedaan (perselisihan)
padha = sama
jayanya = 'kekuatannya' atau 'kedigjayaannya', 'jaya' dapat berarti
'kejayaan'
maga = 'inilah'
bathanga = mayatnya
Karya klasik berbentuk puisi tembang macapat, dan berbahasa Jawa Baru. Isi
teks tentang cerita mitos yang dimulai dengan kedatangan Aji Saka dari Arab (
bumi Majeti )ke Tanah Jawa atau Medhang Kamulan. Diceritakan pula tentang kematian
Prabu Dewatacengkar oleh Aji Saka yang kemudian menggantikannya sebagai raja di
Medhang Kamulan dengan gelar Prabu Jaka. Cerita ini diakhiri dengan peperangan
antara para Adipati Brang Wetan (pesisir timur) melawan Prabu Banjaransari di
Kerajaan Galuh.Aji Saka dalam perjalanannya ke Medhang Kamulan singgah di rumah
seorang janda bernama Sengkeran. Ditempat inilah banyak orang yang berguru
kepada Aji Saka. Raja Medhang Kamulan, Prabu Dewatacengkar, senang sekali
melihat banyak orang ditempat tersebut kesukaannya memakan daging manusia. Oleh
karena itu orang-orang menjadi takut.Aji Saka menawarkan dirinya lewat Patih
Trenggana agar dihadapkan sebagai santapannya. Ia mengajukan persyaratan
meminta tanah seluas ikat kepala yang dimilikinya untuk dibentangkan di tanah
tersebut.
Raja Dewatacengkar menyanggupinya sehingga ikat kepala yang dibentangkan
tadi memenuhi wilayah Medhang Kamulan. Dewatacengkar terdesak dan akhirnya
sampai di pantai selatan hingga tercebur dalam samudera dan berubah wujud
menjadi buaya putih. Selanjutnya Aji Saka kembali ke Medhang Kamulan dan
menggantikan kedudukannya sebagai raja dengan gelar prabu Jaka atau Prabu Anom
Aji Saka. Sepeninggal Dewatacengkar kerajaan Medhang Kamulan menjadi aman
tenteram dan damai kekuasaan Aji Saka. Ia dapat membuat manusia dengan tanah
dan menciptakan aksara Jawa yang disebut Dhentawyanjana. Diceritakan pula
mengenai naga Nginglung yang mengaku dirinya sebagai putra prabu Jaka. Ia
disuruh untuk membunuh buaya putih di samudera yang merupakan penjelmaan Dewatacengkar.
Naga tersebut dapat membunuh buaya putih sehingga diakui sebagai putranya dan
diberi nama Tunggul Wulung.
Raden Daniswara di Panungkulan bermaksud ingin merebut Kerajaan Medhang. Ia
disarankan oleh Hyang Sendhula agar meminta bantuan kepada ratu Kidul yang
bernama Ratu Angin-Angin. Ia kemudian dapat menjadi raja di tanah Jawa dengan
sebutan Raja Daniswara atau Srimapunggung. Ki Jugulmudha dijadikan patih dengan
gelar Adipati Jugulmudha. Langkah selanjutnya adalah ingin menaklukan pesisir
mencanegara. Setelah selesai tugasnya ia kembali ke Panungkulan dan selanjutnya
berniat menaklukan Medhang. Akhirnya Aji Saka moksa bersama dengan kerajaannya
sedangkan Medhang dibawah kekuasaan Srimapunggung. Setelah Srimapunggung moksa
kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sri Kandhihuwan. Setelah Sri
Kandhihuwan moksa kemudian digantikan oleh prabu Kelapagadhing. Selanjutnya
kekuasaan secara berturut-turut digantikan oleh : (1) Prabu Andhong, (2) Sri
Andhongwilis, (3) Prabu Banakeling, (4) Sri Banagaluh, (5) Sri Awulangit, (6)
Ratu Tunggul, (7) Selaraja, (8) Mundhingwangi, (9) Mundhigsari, (10)
Jajalsengara, (11) Gilingwesi, (12) Sri Prawatasari, (13) Wanasantun, (14)
Sanasewu, (15) Raja Tanduran, (16) Rama Jayarata, (17) Raja Ketangga, (18) Raja
Umbulsantuin, (19) Raja Padhangling, (20) Ratu Prambanan, (21) Resi Getayu,
(22) Lembu Amiluhur, (23) Raden Laleyan, dan (24) Raden Banjaransari). Pusat
kerajaan di Medhang Pangremesan atau Jenggala.
Pada saat pemerintahan Raden Banjaransari, ia mendapatkan wangsit dari dewa
Sang Hyang Narada agar meninggalkan kerajaan untuk pergi ke arah barat yang
akhirnya sampai di Gua Terusan untuk bertapa. Ditempat inilah ia dapat bertemu
dengan kakeknya, Sang Hyang Sindula, yang akhirnya dapat menjadi raja di
Kerajaan Galuh. Disebutkan pula mengenai peperangan antara para Adipati Brang
Wetan melawan Prabu Banjarsari di Kerajaan Galuh.
Cerita Ajisaka tersebut diatas ada yang mengartikan perlambang atau bermakna
sebagai berikut :
1. Ajisaka
Aji = Raja ( pegangan raja )
Saka = Pilar
2. Majeti
Ma = Diterima ( keterima )
Jet = Grenjet ( bijaksana )
Ti = Pangesti ( doa khusuk )
Artinya : Doa orang yang bijak, yang melakukan dengan khusuk akan diterima.
3. Medang Kamolan
Kamolan = Mula = tempat asal muasal kehidupan
Beberapa resensi tentang Ajisaka terdapat pada serat Jatiswara dan Serat
Centhini yang memuat sebuah episode mengenai nama Ajisaka ( Raja Jawa Pertama )
pada abad ke. 17.
Ngasah paluning bangsa
Isih tungkul padhadene
Ngalung anduk bebasane
Oglak aglik gegondhele
Maling alok maling
Osoring ketara
Sapa wani arumangsa?
KELAHIRAN HA-NA-CA-RA-KA
Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua
konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang
pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke
mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua
berdasar pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah.
Konsepsi secara tradisional.
Konsepsi secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran
ha-na-ca-ra-ka berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar
dari mulut ke mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk
cerita. Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah
dicetak. Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat
Aji Saka, Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang sudah
dicetak misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat
Djawi ingkang Tanpa Sekar ( Kats 1939 ) Lajang Hanatjaraka ( Dharmabrata 1949
dan Manikmaya ( Panambangan 1981 )
Dalam manuskrip Serat Aji Saka ( Anonim ) dan kutipan Serat Aji Saka ( Kats
1939 ) misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti
oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan
agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka
sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di
negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar
kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan
Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa
Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika
Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke
Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan
barang-barang yang diamanatkan Aji Saka.
Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang
kesaktiannya meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora
dari Duga dan Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas
kekhilafannya. Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang
dalam Manikmaya, Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan.
Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi
lima sastra, yakni :
1. Ha-na-ca-ra-ka
2. Da-ta-sa-wa-la
3. Pa-dha-ja-ya-nya
4. Ma-ga-ba-tha-nga
Sastra Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka,
pupuh VII- Dhandhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut :
Dora goroh ture werdineki Dora bohong ucapannya yakin
Sembada temen tuhu perentah Sembada jujur patuh perintah
Sun kabranang nepsu ture Ku emosi marah ucapannya
Cidra si Dora iku Ingkar si Dora itu
Nulya Prabu Jaka angganggit Lalu Prabu Jaka Menganggit
Anggit pinurwa warna Anggit dibuat macam
Sastra kalih puluh Sastra dua puluh
Kinarya warga lelima Dibuat warga lelima
Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya
Pindho Da-ta-sa-wala Dua Da-ta-sa-wala
Yeku sawarga ping tiganeki Yaitu sewarga ketiganya
Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya Pa-dha-ja-ya-nya sewargane
Ma-ga-ba-tha-nga ping pate Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya
Iku sawarganipun itulah sewarganya
Anglelima sawarganeki Lima-lima satu warganya
Ran sastra sarimbangan Nama sastra sarimbangan
Iku milanipun Itulah sebabnya
Awit ana sastra Jawa Mulai ada hufur Jawa
Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji Mulai diberi harakat satu per satu
Weneh-weneh ungelnya Macam-macam lafalnya
Teks diatas mirip teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan
1981 : 385) kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-anak
yang sedang belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatkaraka jilid I dan
II ( Dharmabrata, 1948:10-11 : 1949:65-66 ) dihiasi dengan gambar kisah Dora
dan Sembada. Hiasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya
ha-na-ca-ra-ka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi
mengilhami dan bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Dikatakan
oleh Suryadi ( 1995 : 74-75 ) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam
pikiran abstraksi generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh tahun
keatas. Fakta pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika
mereka menjawab perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh.
Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan
masih merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan.
Ketidakterikatan itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang
bermacam-macam. Misalnya praduga yang muncul dari Daldjoeni ( 1984 : 147-148 )
yang kemudian diacu oleh Suryadi ( 1995 : 79 ) bahwa kerajaan Medangkamulan
berlokasi di Blora, sezaman dengan kerajaan Prabu Baka di ( sebelah selatan )
Prambanan, yakni sekitar abad IX. Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa (
ha-na-ca-ra-ka ) diciptakan pada sekitar abad tersebut.
Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan
keterangan dalam sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa
Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :
Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika
wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning
Demak, sakiduling warung.
Demikianlah ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah
permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur
Demak sebelah selatan warung.
Akan tetapi , penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan
yang terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa
ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada
tahun ( saka ) 1003 ( Subalidata 1994 : 3 ) atau tahun 1081 Masehi. Tahun 1003
itu dekat dengan tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002
yang disebutkan dalam The History of Java jilid II ( Raffles 1982 : 80 ) pada
halaman yang sama dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu
Baka bertahta di Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni seratus tahun
sebelum Aji saka bertahta.
Sementara itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 )
disebutkan bahwa Aji Saka – dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di
negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI –
pertengahan abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka
akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia menciptakan
aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII
( sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak
disebutkan secara eksplisit.
Warsito ( dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing
berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar.
Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar
merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan.
Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang
berjudul Serat Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan
oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab
yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang
Sita atau Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa,
Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan
aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata (
Hadi Soetrisno, 1941 : 3 – 6 )
Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan
dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati
bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga
terbentuklah aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih
lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu
sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna
aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan (
ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7
). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan
Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.
Selian yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan
Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk
memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah
pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah
simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya
kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 : 26 )
Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada
merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan
datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo,
1994 : 26 ). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan
ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh
atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya
Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk
memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.
Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit
dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan
persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan
oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan
antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang
atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan
praduga kedua ( dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of
Java ) misalnya terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua
dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga
praduga tersebut akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka
dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik
di atas. Selain itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan
yang berasal dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini,
termasuk misteri pencipta aksara tersebut.
Konsepsi secara Ilmiah
Kelahiran pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran
dan perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai
alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti
bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh waktu dan tempat ( lihat Molen,
1985 : 3 ) untuk melepaskan diri dari keterikatannya, sesuai dengan pola pikir
pemakainya dan sejalan dengan tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan serta
perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara
diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah
orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik
Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka, 1952 : vii ) sehingga masih
berlaku tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi
keberaksaraan untuk menciptakan bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan tetap
berlangsung.
Hasil teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan yangamat
penting dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang ilmu
pengetahuan, politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara peradaban
yang tanpa tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan ( Molen, 1985 : 3 )
peradaban yang mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan setingkat lebih
maju daridapa peradaban tanpa tulisan.
Dalam sejarah peradaban etnik Jawa, atas dasar data arkeologis, tulisan tertua
yang ditemukan dalam bentuk prasasti dengan menggunakan aksara Pallawa
menunjukkan penanda waktu sebelum tahun 700 Masehi ( Casparis, 1975 : 29 ) jauh
sesudah bahasa Jawa yang tertua dugunakan secara lisan. Setelah ditemukan
beberapa prasasti yang lain, secara berangsur-angsur dilakukan studi
paleografi. Dari beberapa prasasti yang dijadikan bahan studi, diperoleh hasil
deskripsi yang menggembirakan ( lihat Molen 1985 : 4 ). Namun hingga kini masih
sedikit jumlah karya tulis yang membicarakan paleografi Jawa. Karya tulis
tentang paleografi Jawa baru dimulai pada awal abad XIX, seperti yang dilakukan
oleh Raffles ( 1871 ) Stuart ( 1863 ) dan Keyzer ( 1863 ). Hanya sayang bahwa
contoh aksara yang ditampilkan menurut Stuart ( 1864 : 169 – 173 ) lihat Molen,
1985 : 4 ) bukan jiplakan yang asli, melainkan aksara Jawa baru yang dituliskan
dengan bentuk dan gaya aksara Jawa kuna, contohnya : dibawah ini dikutipkan
dari The History of Java Jilid I, karya Raffles ( 1982 : 370 )
Ada juga Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut
:
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada ” utusan ” yakni utusan hidup, berupa nafas yang
berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang
mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga
unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data ”
saatnya ( dipanggil ) ” tidak boleh sawala ” mengelak ” manusia ( dengan segala
atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak
Tuhan
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang
diberi hidup ( makhluk ). Maksudnya padha ” sama ” atau sesuai, jumbuh, cocok ”
tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan
keutamaan. Jaya itu ” menang, unggul ” sungguh-sungguh dan bukan
menang-menangan ” sekedar menang ” atau menang tidak sportif.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang
dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah
pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk
menanggulanginya.
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka Paku Buwana IX
Filsafat ha-na-ca-ka-ra yang diungkapan Paku Buwana IX dikutip oleh Yasadipura
sebagai bahan sarasehan yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta pada tanggal, 13 Juli 1992. Judul makalah yang dibawakan
Yasadipura adalah ” Basa Jawi Hing Tembe Wingking Sarta Haksara Jawi kang Mawa
Tuntunan Panggalih Dalem Hingkang Sinuhun Paku Buwana IX Hing Karaton Surakarta
Hadiningrat “. Dalam makalah itu dikemukakan oleh Yasadipura ( 1992 : 9 – 10 )
bahwa Paku Buwana IX memberikan ajaran ( filsafat hidup ) berdasarkan aksara
ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya, yang dimulai dengan tembang kinanthi, sebagai
berikut.
Nora kurang wulang wuruk tak kurang piwulang dan ajaran
Tumrape wong tanah Jawi bagi orang tanah Jawa
Laku-lakune ngagesang perilaku dalam kehidupan
Lamun gelem anglakoni jika mau menjalaninya
Tegese aksara Jawa maknanya aksara Jawa
Iku guru kang sejati itu guru yang sejati
Ha Na Ca Ra Ka
MAKNA HURUF
Ha
Hana hurip wening suci – adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci
Na
Nur candra,gaib candra,warsitaning candara-pengharapan manusia hanya selalu ke
sinar Illahi
Ca
Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi-satu arah dan tujuan pada Yang Maha
Tunggal
Ra
Rasaingsun handulusih – rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani
Ka
Karsaningsun memayuhayuning bawana – hasrat diarahkan untuk kesajetraan alam
Da
Dumadining dzat kang tanpa winangenan – menerima hidup apa adanya
Ta
Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa – mendasar ,totalitas,satu visi,
ketelitian dalam memandang hidup
Sa
Sifat ingsun handulu sifatullah- membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan
Wa
Wujud hana tan kena kinira – ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya
bisa tanpa batas
La
Lir handaya paseban jati – mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi
Pa
Papan kang tanpa kiblat – Hakekat Allah yang ada disegala arah
Dha
Dhuwur wekasane endek wiwitane – Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar
Ja
Jumbuhing kawula lan Gusti -selalu berusaha menyatu -memahami kehendak Nya
Ya
Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi – yakin atas titah /kodrat Illahi
Nya
Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki – memahami kodrat kehidupan
Ma
Madep mantep manembah mring Ilahi – yakin – mantap dalam menyembah Ilahi
Ga
Guru sejati sing muruki – belajar pada guru nurani
Ba
Bayu sejati kang andalani – menyelaraskan diri pada gerak alam
Tha
Tukul saka niat – sesuatu harus dimulai – tumbuh dari niatan
Nga
Ngracut busananing manungso – melepaskan egoisme pribadi -manusia
KELAHIRAN HA-NA-CA-RA-KA
Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua
konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang
pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke
mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua
berdasar pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah.
Konsepsi secara tradisional.
Konsepsi secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran
ha-na-ca-ra-ka berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar
dari mulut ke mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk
cerita. Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah
dicetak. Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat
Aji Saka, Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang sudah
dicetak misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat
Djawi ingkang Tanpa Sekar ( Kats 1939 ) Lajang Hanatjaraka ( Dharmabrata 1949
dan Manikmaya ( Panambangan 1981 )
Dalam manuskrip Serat Aji Saka ( Anonim ) dan kutipan Serat Aji Saka ( Kats
1939 ) misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti
oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan
agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka
sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di
negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar
kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan
Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa
Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika
Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke
Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan
barang-barang yang diamanatkan Aji Saka.
Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang
kesaktiannya meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora
dari Duga dan Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya.
Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya,
Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan
itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni :
1. Ha-na-ca-ra-ka
2. Da-ta-sa-wa-la
3. Pa-dha-ja-ya-nya
4. Ma-ga-ba-tha-nga
Sastra Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka,
pupuh VII- Dhandhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut :
Dora goroh ture werdineki
(Dora bohong ucapannya yakin)
Sembada temen tuhu perentah
(Sembada jujur patuh perintah)
Sun kabranang nepsu ture
(Ku emosi marah ucapannya)
Cidra si Dora iku
(Ingkar si Dora itu)
Nulya Prabu Jaka angganggit
(Lalu Prabu Jaka Menganggit)
Anggit pinurwa warna
(Anggit dibuat macam)
Sastra kalih puluh
(Sastra dua puluh)
Kinarya warga lelima
(Dibuat warga lelima)
Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki
(Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya)
Pindho Da-ta-sa-wala
(Dua Da-ta-sa-wala)
Yeku sawarga ping tiganeki
(Yaitu sewarga ketiganya)
Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya
(Pa-dha-ja-ya-nya sewargane)
Ma-ga-ba-tha-nga ping pate
(Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya)
Iku sawarganipun
(itulah sewarganya)
Anglelima sawarganeki
(Lima-lima satu warganya)
Ran sastra sarimbangan
(Nama sastra sarimbangan)
Iku milanipun
(Itulah sebabnya)
Awit ana sastra Jawa
(Mulai ada huruf Jawa)
Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji
(Mulai diberi harakat satu per satu)
Weneh-weneh ungelnya
(Macam-macam lafalnya)
Teks diatas mirip teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan
1981 : 385) kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-anak
yang sedang belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatkaraka jilid I dan
II ( Dharmabrata, 1948:10-11 : 1949:65-66 ) dihiasi dengan gambar kisah Dora
dan Sembada. Hiasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya
ha-na-ca-ra-ka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi
mengilhami dan bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Dikatakan
oleh Suryadi ( 1995 : 74-75 ) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam
pikiran abstraksi generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh tahun
keatas. Fakta pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika
mereka menjawab perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh.
Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan
masih merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan.
Ketidakterikatan itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang
bermacam-macam. Misalnya praduga yang muncul dari Daldjoeni ( 1984 : 147-148 )
yang kemudian diacu oleh Suryadi ( 1995 : 79 ) bahwa kerajaan Medangkamulan
berlokasi di Blora, sezaman dengan kerajaan Prabu Baka di ( sebelah selatan )
Prambanan, yakni sekitar abad IX. Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa ( ha-na-ca-ra-ka
) diciptakan pada sekitar abad tersebut.
Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan
keterangan dalam sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa
Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :
Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika
wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning
Demak, sakiduling warung.
Demikianlah ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah
permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur
Demak sebelah selatan warung.
Akan tetapi , penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan
yang terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa
ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada
tahun ( saka ) 1003 ( Subalidata 1994 : 3 ) atau tahun 1081 Masehi. Tahun 1003
itu dekat dengan tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002
yang disebutkan dalam The History of Java jilid II ( Raffles 1982 : 80 ) pada
halaman yang sama dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu
Baka bertahta di Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni seratus tahun
sebelum Aji saka bertahta.
Sementara itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 )
disebutkan bahwa Aji Saka – dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab.
Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad
VI – pertengahan abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji
Saka akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia
menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada
sekitar abad VII ( sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam
teks tidak disebutkan secara eksplisit.
Warsito ( dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing
berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar.
Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar
merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan.
Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang
berjudul Serat Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan
oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab
yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang Sita
atau Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa, Sang
Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan aksara-aksara
yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata ( Hadi Soetrisno,
1941 : 3 – 6 )
Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan
dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati
bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga
terbentuklah aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih
lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu
sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna
aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan (
ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7
). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan
Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.
Selian yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan
Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk
memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah
pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah
simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya
kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 : 26 )
Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada
merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan
datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo,
1994 : 26 ). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan
ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh
atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya
Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk
memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.
Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit
dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan
persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan
oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan
antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang
atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan
praduga kedua ( dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of
Java ) misalnya terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua
dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga
praduga tersebut akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka
dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik
di atas. Selain itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan
yang berasal dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini,
termasuk misteri pencipta aksara tersebut.
Konsepsi secara Ilmiah
Kelahiran pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran
dan perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai
alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti
bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh waktu dan tempat ( lihat Molen,
1985 : 3 ) untuk melepaskan diri dari keterikatannya, sesuai dengan pola pikir
pemakainya dan sejalan dengan tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan serta
perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara
diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah
orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik
Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka, 1952 : vii ) sehingga masih berlaku
tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi keberaksaraan
untuk menciptakan bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan tetap
berlangsung.
Hasil teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan yangamat
penting dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang ilmu
pengetahuan, politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara peradaban
yang tanpa tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan ( Molen, 1985 : 3 )
peradaban yang mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan setingkat lebih
maju daridapa peradaban tanpa tulisan.
Dalam sejarah peradaban etnik Jawa, atas dasar data arkeologis, tulisan
tertua yang ditemukan dalam bentuk prasasti dengan menggunakan aksara Pallawa
menunjukkan penanda waktu sebelum tahun 700 Masehi ( Casparis, 1975 : 29 ) jauh
sesudah bahasa Jawa yang tertua dugunakan secara lisan. Setelah ditemukan
beberapa prasasti yang lain, secara berangsur-angsur dilakukan studi
paleografi. Dari beberapa prasasti yang dijadikan bahan studi, diperoleh hasil
deskripsi yang menggembirakan ( lihat Molen 1985 : 4 ). Namun hingga kini masih
sedikit jumlah karya tulis yang membicarakan paleografi Jawa. Karya tulis
tentang paleografi Jawa baru dimulai pada awal abad XIX, seperti yang dilakukan
oleh Raffles ( 1871 ) Stuart ( 1863 ) dan Keyzer ( 1863 ). Hanya sayang bahwa
contoh aksara yang ditampilkan menurut Stuart ( 1864 : 169 – 173 ) lihat Molen,
1985 : 4 ) bukan jiplakan yang asli, melainkan aksara Jawa baru yang dituliskan
dengan bentuk dan gaya aksara Jawa kuna, contohnya : dibawah ini dikutipkan
dari The History of Java Jilid I, karya Raffles ( 1982 : 370 )
Ada juga Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut
:
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada ” utusan ” yakni utusan hidup, berupa nafas yang
berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang
mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga
unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data ”
saatnya ( dipanggil ) ” tidak boleh sawala ” mengelak ” manusia ( dengan segala
atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak
Tuhan
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang
diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha ” sama ” atau sesuai, jumbuh, cocok ”
tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan
keutamaan. Jaya itu ” menang, unggul ” sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan
” sekedar menang ” atau menang tidak sportif.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang
dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah
pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk
menanggulanginya.
Syekh
Subakir
Sebuah
rajah juga memiliki tanggal kadaluarsa. Dalam perkembangannya, seiring dengan
waktu dan semakin ramai pulau Jawa, rajah Aji Saka tidak bisa bertahan lama dan
menjadi kadaluarsa. Kembalilah keadaan dimana Jin berkuasa, hujan darah
dimana-mana, bencana merajalela. Lalu pada suatu ketika datanglah waliyulloh
pertama di Jawa, yaitu Syekh Subakir. Mengetahui kondisi pulau Jawa yang sulit
dihuni manusia, beliau menumbali tanah Jawa dengan rajah Kolocokro di gunung
Tidar (sekarang rajah ini juga banyak digunakan). Dan menjadi damai Jadilah pulau Jawa kita tercinta ini.
Namun seperti rajah Aji Saka, jelasnya rajah Syekh Subakir juga memiliki
tanggal Kadaluarsa, pertanyaannya kapankah itu terjadi? semoga Alloh senantiasa
melindungi kita semua.
|
Syekh
Subakir bersama Semar dan Togog dalam Pewayangan
|
Sunan
Kalijogo
Jauh
setelah Syekh Subakir meninggalkan pulau jawa dan kembali ke Turki, terdapat Waliyulloh2
penerusnya, salah satunya adalah Kanjeng Sunan Kalijogo. Dalam cerita ini Sunan
Kalijogo memiliki peran dalam merubah persepsi rakyat tanah Jawa tentang Semar,
Togog, dan yang lain. Beliau merubah persepsi yang buruk tentang makhluk gaib
tersebut menjadi persepsi yang bagus melalui kisah pewayangan. (Asal agan tau
aja, kisah asli pewayangan dari india tidak ada namanya Semar beserta
kawan2nya, itu hanyalah tambahan yang ditambahkan di pulau Jawa) Merubah
persepsi dari jelek ke baik ini penting, karena setiap angan, setiap perkataan
adalah doa. Jadi secara tidak langsung, Kanjeng Sunan Kalijogo mengajak semua
penikmat wayang untuk berdoa agar tanah jawa terhindar dari kebengisan makhluk2
gaibnya.
|
Pewayangan,
Punokawan sebagai abdi
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun.
Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit
(berakhir 1478),
Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan
Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan
Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut
pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang
"tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama
masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Kelahiran
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan
nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang
bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga
antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden
Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga
berasal dari Desa Kalijaga
di Cirebon.
Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai
(kali), atau jaga kali.
Silsilah
Mengenai asal usul beliau, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa
beliau juga masih keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang
menyatakan ia orang Jawa
asli. Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan
Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sementara itu menurut Babad Tuban
menyatakan bahwa Aria Teja
alias 'Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan
mengawini putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria
Wilatikta. Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M
adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden
Mas Said adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf
membenarkan bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu
Abbas, paman Muhammad. Sunan Kalijaga
mempunyai tiga anak salah satunya adalah Umar Said atau Sunan
Muria.
Pernikahan
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh
binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan
Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Berda'wah
Menurut cerita, Sebelum menjadi Walisongo,
Raden Said adalah seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang
penyimpanan Hasil Bumi. Dan hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada
orang-orang yang miskin. Suatu hari, Saat Raden Said berada di hutan, ia
melihat seseorang kakek tua yang bertongkat. Orang itu adalah Sunan
Bonang. Karena tongkat itu dilihat seperti tongkat emas, ia
merampas tongkat itu. Katanya, hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada
orang yang miskin. Tetapi, Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu. Ia
menasihati Raden Said bahwa Allah tidak akan menerima
amal yang buruk. Lalu, Sunan Bonang menunjukan pohon aren emas dan mengatakan
bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa berusaha, maka ambillah buah
aren emas yang ditunjukkan oleh Sunan Bonang. Karena itu, Raden Said ingin
menjadi murid Sunan Bonang. Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke Sungai.
Raden Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh
Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tepi
sungai. Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang
datang. Raden Said lalu melaksanakan perintah tersebut. Karena itu,ia menjadi
tertidur dalam waktu lama. Karena lamanya ia tertidur, tanpa disadari akar
dan rerumputan telah menutupi dirinya. Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang
datang dan membangunkan Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya yang
ditanjapkan ke sungai, maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga.
Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama oleh Sunan
Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan
Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat
dekatnya, Sunan Bonang. Paham
keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf"
-bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan
menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara
bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika
Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak
mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan
Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk
sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk
ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul.
Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan,
garebeg maulud, serta lakon carangan Layang
Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja").
Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid
diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Sunan
Kalijaga adalah ulama yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa.
Beliau adalah legenda nyata dari tumbuh dan berkembangnya Islam di Pulau
Jawa. Sayangnya, namanya sering dikaitkan dengan mistisme Jawa alias Kejawen.
Benarkan ‘Kejawenisme’ merupakan buah pemikiran Sunan Kalijaga?
Siapakah Sunan Kalijaga? Dari mana nama ‘Kalijaga’ berasal? Mari kita
bangun perspektif yang benar tentang sosok ini.
Ada beragam versi tentang nama asli Kalijaga. Sejumlah sumber mengatakan
bahwa nama asli Sunan Kalijaga ialah ‘Lokajaya’. Sumber lain ada yang
menyebut bahwa nama aslinya ‘Raden Abdurrahman’ atau ada juga yang mengatakan
bahwa namanya ialah ‘Raden Joko Said’ atau ‘Raden Jaka Syahid’. Pendapat yang
terakhir merupakan riwayat yang paling mashyur. Nama Raden Joko Said ialah
nama yang dikenal secara turun-temurun oleh para penduduk Tuban hingga masa
kini.
Joko Said dilahirkan sekitar tahun 1450 M. Ayahnya adalah Arya Wilatikta,
Adipati Tuban. Arya Wilatikta ini adalah keturunan dari pemberontak
legendaris Majapahit, Ronggolawe. Riwayat masyhur mengatakan bahwa Adipati
Arya Wilatikta sudah memeluk Islam sejak sebelum lahirnya Joko Said. Namun
sebagai Muslim, ia dikenal kejam dan sangat taklid kepada pemerintahan pusat
Majapahit yang menganut Agama Hindu. Ia menetapkan pajak tinggi kepada
rakyat.
Joko Said muda yang tidak setuju pada segala kebijakan Ayahnya sebagai
Adipati sering membangkang pada kebijakan-kebijakan ayahnya. Pembangkangan
Joko Said kepada ayahnya mencapai puncaknya saat ia membongkar lumbung
kadipaten dan membagi-bagikan padi dari dalam lumbung kepada rakyat Tuban
yang saat itu dalam keadaan kelaparan akibat kemarau panjang.
Karena tindakannya itu, Ayahnya kemudian ‘menggelar sidang’ untuk mengadili Joko
Said dan menanyakan alasan perbuatannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan
oleh Joko Said untuk mengatakan pada ayahnya bahwa, karena alasan ajaran
agama, ia sangat menentang kebijakan ayahnya untuk menumpuk makanan di dalam
lumbung sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Ayahnya
tidak dapat menerima alasannya ini karena menganggap Joko Said ingin
mengguruinya dalam masalah agama. Karena itu, Ayahnya kemudian mengusirnya
keluar dari istana kadipaten seraya mengatakan bahwa ia baru boleh pulang
jika sudah mampu menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al
Qur’an. Maksud dari ‘menggetarkan seisi Tuban’ di sini ialah bilamana ia
sudah memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya.
Riwayat masyhur kemudian menceritakan bahwa setelah diusir dari istana
kadipaten, Joko Said berubah menjadi seorang perampok yang terkenal dan
ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai Perampok, Joko Said selalu ‘memilih’
korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang kaya yang tak mau
mengeluarkan zakat dan sedekah. Dari hasil rampokannya itu, sebagian besarnya
selalu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Kisah ini mungkin mirip dengan
cerita Robin Hood di Inggris. Namun itulah riwayat masyhur tentang beliau.
Diperkirakan saat menjadi perampok inilah, ia diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya
kurang lebih ‘Perampok Budiman’.
Semuanya berubah saat Lokajaya alias Joko Said bertemu dengan seorang ulama
beken, Syekh Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Sunan Bonang inilah
yang kemudian mernyadarkannya bahwa perbuatan baik tak dapat diawali dengan
perbuatan buruk –sesuatu yang haq tak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu
yang batil- sehingga Joko Said alias Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi
perampok. Joko Said kemudian berguru kepada Sunan Bonang hingga akhirnya
dikenal sebagai ulama dengan gelar ‘Sunan Kalijaga’.
Dari mana nama ‘Kalijaga’ muncul?
Pertanyaan ini masih menjadi misteri dan bahan silang pendapat di antara para
pakar sejarah hingga hari ini. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu
berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal
di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Ini dihubungkan
dengan kebiasaan wong Cerbon untuk menggelari seseorang dengan daerah asalnya
–seperti gelar Sunan Gunung Jati untuk Syekh Syarif Hidayatullah, karena
beliau tinggal di kaki Gunung Jati.
Fakta menunjukan bahwa ternyata tidak ada ‘kali’ di sekitar dusun Kalijaga
sebagai ciri khas dusun itu. Padahal, tempat-tempat di Jawa umumnya dinamai
dengan sesuatu yang menjadi ciri khas tempat itu. Misalnya nama Cirebon yang
disebabkan banyaknya rebon (udang), atau nama Pekalongan karena banyaknya
kalong (Kelelawar). Logikanya, nama ‘Dusun Kalijaga’ itu justru muncul
setelah Sunan Kalijaga sendiri tinggal di dusun itu. Karena itu, klaim
Masyarakat Cirebon ini kurang dapat diterima.
Riwayat lain datang dari kalangan Jawa Mistik (Kejawen). Mereka mengaitkan
nama ini dengan kesukaan wali ini berendam di sungai (kali) sehingga nampak
seperti orang yang sedang “jaga kali”. Riwayat Kejawen lainnya menyebut nama
ini muncul karena Joko Said pernah disuruh bertapa di tepi kali oleh Sunan
Bonang selama sepuluh tahun. Pendapat yang terakhir ini yang paling populer.
Pendapat Ini bahkan diangkat dalam film ‘Sunan Kalijaga’ dan ‘Walisongo’ pada
tahun 80-an. Saya sendiri kurang sepaham dengan kedua pendapat ini.
Secara sintaksis, dalam tata bahasa-bahasa di Pulau Jawa (Sunda dan Jawa) dan
segala dialeknya, bila ada frase yang menempatkan kata benda di depan kata
kerja, itu berarti bahwa kata benda tersebut berlaku sebagai subjek yang
menjadi pelaku dari kata kerja yang mengikutinya. Sehingga bila ada frase
‘kali jaga’ atau ‘kali jogo’ berarti ada ‘sebuah kali yang menjaga sesuatu’.
Ini tentu sangat janggal dan tidak masuk akal.
Bila benar bahwa nama itu diperoleh dari kebiasaan Sang Sunan kungkum di kali
atau karena beliau pernah menjaga sebuah kali selama sepuluh tahun non-stop
(seperti dalam film), maka seharusnya namanya ialah “Sunan Jogo Kali” atau
“Sunan Jaga Kali”.
Kemudian secara logika, silakan anda pikirkan masak-masak. Mungkinkah seorang
da’i menghabiskan waktu dengan kungkum-kungkum di sungai sepanjang hari?
Tentu saja tidak. Sebagai da’i yang mencintai Islam dan Syi’ar-nya, tentu ada
banyak hal berguna yang dapat beliau lakukan. Riwayat Kejawen bahwa beliau
bertapa selama sepuluh tahun non-stop di pinggir kali juga merupakan riwayat
yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa seorang ulama saleh terus-menerus
bertapa tanpa melaksanakan shalat, puasa, bahkan tanpa makan dan minum?
Karena itu, dalam pendapat saya, kedua riwayat itu ialah riwayat batil dan
tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pendapat yang paling masuk akal ialah bahwa sebenarnya nama ‘kalijaga’
berasal dari bahasa Arab “Qadli’ dan nama aslinya sendiri, ‘Joko Said’, jadi
frase asalnya ialah ‘Qadli Joko Said’ (Artinya Hakim Joko Said). Sejarah
mencatat bahwa saat Wilayah (Perwalian) Demak didirikan tahun 1478, beliau
diserahi tugas sebagai Qadli (hakim) di Demak oleh Wali Demak saat itu, Sunan
Giri.
Masyarakat Jawa memiliki riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan
kata-kata Arab, misalnya istilah Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo
(dari ‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari Maulid), Suro (dari Syura’),
Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak istilah lainnya. Maka tak
aneh bila frase “Qadli Joko” kemudian tersimpangkan menjadi ‘Kalijogo’ atau
‘Kalijaga’.
Posisi Qadli yang dijabat oleh Kalijaga alias joko Said ialah bukti bahwa
Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang menjalankan Syariah Islam.
Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai Wali di Demak. Istilah
‘Qadli’ dan ‘Wali’ merupakan nama-nama jabatan di dalam Negara Islam. Dari
sini sajasudah jelas, siapa Sunan Kalijaga sebenarnya; ia adalahseorang
Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.
Da’wah Sunan Kalijaga adalah Da’wah Islam, Bukan Da’wah Kejawen atau
Sufi-Pantheistik
Kita kembali ke Sunan Kalijaga alias Sunan Qadli Joko. Riwayat masyhur
mengisahkan bahwa masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari
100 tahun. Ini berarti bahwa beliau mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit
pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, bahkan
hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta awal kehadiran Kerajaan
Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan Sunan Kalijaga adalah sebuah
masa kehidupan yang panjang.
Manuskrip-manuskrip dan babad-babad tua ternyata hanya menyebut-nyebut nama
beliau hingga zaman Kesultanan Cirebon saja, yakni hingga saat beliau
bermukim di dusun Kalijaga. Dalam kisah-kisah pendirian Kerajaan Pajang oleh
Jaka Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati, namanya tak lagi
disebut-sebut. Logikanya ialah, bila saat itu beliau masih hidup, tentu
beliau akan dilibatkan dalam masalah imamah di Pulau Jawa karena pengaruhnya
yang luas di tengah masyarakat Jawa. Fakta menunjukan bahwa makamnya berada
di Kadilangu, dekat Demak, bukan di Pajang atau di kawasan Mataram
(Yogyakarta dan sekitarnya) –tempat-tempat di mana Kejawen tumbuh subur.
Perkiraan saya, beliau sudah wafat saat Demak masih berdiri.
Riwayat-riwayat yang batil banyak menceritakan kisah-kisah aneh tentang Sunan
Kalijaga –selain kisah pertapaan sepuluh tahun di tepi sungai. Beberapa kisah
aneh itu antara lain, bahwa beliau bisa terbang, bisa menurunkan hujan dengan
hentakan kaki, mengurung petir bernama Ki Ageng Selo di dalam Masjid Demak
dan kisah-kisah lain yang bila kita pikirkan dengan akal sehat nan intelek
tidak mungkin bisa masuk ke dalam otak manusia. Kisah-kisah aneh macam itu
hanya bisa dipercaya oleh orang gila yang gemar sihir.
Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan berbau Hindu-Budha serta
Kejawen. Padahal fakta tentang kehidupan Sunan Kalijaga adalah Da’wah dan
Syi’ar Islam yang indah. Buktinya sangat banyak sekali. Sunan Kalijaga adalah
perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang
“tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid
adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin seorang kejawen ahli
mistik mau-maunya mendirikan Masjid yang jelas-jelas merupakan tempat
peribadatan Islam.
Paham keagamaan Sunan Kalijaga adalah salafi –bukan sufi-panteistik ala
Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Ini terbukti dari
sikap tegas beliau yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri saat terjadi
sengketa dalam masalah ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar dengan ajarannya bahwa
manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang sama.
Kesenian dan kebudayaan hanyalah sarana yang dipilih Sunan Kalijaga dalam
berdakwah. Beliau memang sangat toleran pada budaya lokal. Namun beliau pun
punya sikap tegas dalam masalah akidah. Selama budaya masih bersifat
transitif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, beliau menerimanya.
Wayang beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia secara detail
dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlalu mirip dengan
citra manusia, karena pengetahuannya bahwa menggambar dan mencitrakan sesuatu
yang mirip manusia dalam ajaran Islam adalah haram hukumnya.
Cerita yang berkembang mengisahkan bahwa beliau sering bepergian keluar-masuk
kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau sendiri
sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan pertunjukan wayangnya tidak
dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat. Beliau
berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap. Pertama berislam
dulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam segi-segi ibadah dan
pengetahuan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa bila Islam sudah
dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan
lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan lainnya. Walau tokoh-tokoh
yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.) beliau menggubah sendiri
lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon Petruk Jadi Raja yang
semuanya memiliki ruh Islam yang kuat. Karakter-karakter wayang yang
dibawakannya pun beliau tambah dengan karakter-karakter baru yang memiliki
nafas Islam. Misalnya, karakter Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong,
Petruk, dan Gareng adalah karakter yang sarat dengan muatan Keislaman.
1. Istilah ‘Dalang’ berasal dari bahasa Arab, ‘Dalla’ yang
artinya menunjukkan. Dalam hal ini, seorang ‘Dalang’ adalah seseorang yang
‘menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang’. Mandalla’alal Khari
Kafa’ilihi (Barangsiapa menunjukan jalan kebenaran atau kebajikan kepada
orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri –Sahih
Bukhari)
2. Karakter ‘Semar’ diambil dari bahasa Arab, ‘Simaar’ yang
artinya Paku. Dalam hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian dan iman yang
kokoh bagai paku yang tertancap, Simaaruddunyaa.
3. Karakter ‘Petruk’ diambil dari bahasa Arab, ‘Fat-ruuk’ yang
artinya ‘tingggalkan’. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan segala
penyembahan kepada selain Allah, Fatruuk-kuluu man siwallaahi.
4. Karakter ‘Gareng’ diambil dari bahasa Arab, ‘Qariin’ yang
artinya ‘teman’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha mencari teman
sebanyak-banyaknya untuk diajak ke arah kebaikan, Nalaa Qaarin.
5. Karakter ‘Bagong’ diambil dari bahasa Arab, ‘Baghaa’ yang
artinya ‘berontak’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak saat melihat
kezaliman.
Seni ukir, wayang, gamelan, baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud,
serta seni suara suluk yang diciptakannya merupakan sarana dakwah semata,
bukan budaya yang perlu ditradisikan hingga berkarat dalam kalbu dan dinilai
sebagai ibadah mahdhah. Beliau memandang semua itu sebagai metode semata,
metode dakwah yang sangat efektif pada zamannya. Secara filosofis, ini sama
dengan da’wah Rasulullah Saw yang mengandalkan keindahan syair Al Qur’an
sebagai metode da’wah yang efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang
gemar berdeklamasi.
Tak dapat disangkal bahwa kebiasaan keluar-masuk kampung dan memberikan
hiburan gratis pada rakyat, melalui berbagai pertunjukan seni, pun memiliki
nilai filosofi yang sama dengan kegiatan yang biasa dilakukan Khalifah Umar
ibn Khattab ra. yang suka keluar-masuk perkampungan untuk memantau umat dan memberikan
hiburan langsung kepada rakyat yang membutuhkannya. Persamaan ini memperkuat
bukti bahwa Sunan Kalijaga adalah pemimpin umat yang memiliki karakter, ciri,
dan sifat kepemimpinan yang biasa dimiliki para pemimpin Islam sejati, bukan
ahli Kejawen.
SUNAN KALIJAGA MENCARI GURU SEJATI
Di
antara para wali yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga bisa dikatakan
satu-satunya wali yang menggunakan pendekatan yang pas yaitu budaya Jawa. Dia
sadar, tidak mungkin menggunakan budaya lain untuk menyampaikan ajaran
sangkan paraning dumadi secara tepat. Budaya arab tidak cocok diterapkan di
Jawa karena manusia Jawa sudah hidup sekian ratus tahun dengan budayanya yang
sudah mendarah daging. Bahkan, setelah “dilantik” menjadi wali, dia mengganti
jubahnya dengan pakaian Jawa memakai blangkon atau udeng.
Nama
mudanya Raden Syahid, putra adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta dan Dewi
Nawangrum. Kadpiaten Tuban sebagaimana Kadipaten yang lain harus tunduk di
bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Nama lain Tumenggung Wilatikta adalah
Ario Tejo IV, keturunan Ario Tejo III, II dan I. Arti Tejo I adalah putra
Ario Adikoro atau Ronggolawe, salah seorang pendiri Kerajaan Majapahit. Jadi
bila ditarik dari silsilah ini, Raden Syahid sebenarnya adalah anak turun
pendiri kerajaan Majapahit.
Raden
Syahid lahir di Tuban saat Majapahit mengalami kemunduran karena kebijakan
yang salah kaprah, pajak dan upeti dari masing-masing kadipaten yang harus
disetor ke Kerajaan Majapahit sangat besar sehingga membuat miskin rakyat
jelata. Suatu ketika, Tuban dilanda kemarau panjang, rakyat hidup semakin
sengsara hingga suatu hari Raden Syahid bertanya ke ayahnya: “Bapa, kenapa
rakyat kadipaten Tuban semakin sengsara ini dibuat lebih menderita oleh
Majapahit?”. Sang ayah tentu saja diam sambil membenarkan pertanyaan anaknya
yang kritis ini.
Raden
Syahid yang melihat nasib rakyatnya merana, terpanggil untuk berjuang dengan
caranya sendiri. Cara yang khas anak muda yang penuh semangat juang namun
belum diakui eksistensinya; menjadi “Maling Cluring”, yaitu pencuri yang baik
karena hasil curiannya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin yang
menderita. Tidak hanya mencuri, melainkan juga merampok orang-orang kaya dan
kaum bangsawan yang hidupnya berkecukupan.
Suatu
ketika, perbuatan mulia namun tidak lazim itu diketahui oleh sang ayah dan
sang ayah tanpa ampun mengusir Raden Syahid karena dianggap mencoreng moreng
kehormatan keluarga adipati. Pengusiran tidak hanya dilakukan sekali namun
beberapa kali. Saat diusir Raden Syahid kembali melakukan perampokan namun
sialnya dia tertangkap pengawal kadipaten hingga sang ayah kehabisan akal
sehat. “Syahid anakku, kini sudah waktunya kamu memilih, kau yang suka
merampok itu pergi dari wilayah Tuban atau kau harus tewas di tangan anak
buahku”. Syahid tahu dia saat itu harus benar-benar pergi dari wilayah Tuban
dan akhirnya, dia pun dengan hati gundah pergi tanpa arah tujuan yang jelas.
Suatu hari dalam perjalanannya di hutan Jati Wangi, dia bertemu lelaki tua
yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Sunan Bonang. Sunan Bonang
adalah putra dan murid Sunan Ampel yang berkedudukan di Bonang, dekat Tuban.
Syahid
yang ingin merampok Sunan Bonang akhirnya harus bertekuk lutut dan Syahid
akhirnya berguru pada Sunan Bonang. Oleh Bonang yang saat itu sudah jadi guru
spiritual ini, Syahid diminta duduk diam bersila di pinggir sungai. Posisi
duduk diam meneng ini di kalangan para yogi dikenal dengan posisi meditasi.
Syahid saat itu telah bertekad untuk mengubah orientasi hidupnya secara total
seratus delapan puluh derajat. Yang awalnya dia berjuang dalam bentuk fisik,
menjadi perjuangan dalam bentuk batin (metafisik). Dia telah meninggalkan
syariat masuk ke ruang hakekat untuk mereguk nikmatnya makrifat. Namun syarat
yang diajarkan Sunan Bonang cuma satu: duduk, diam, meneng, mengalahkan
diri/ego dan patuh pada sang guru sejati (kesadaran ruh). Untuk menghidupkan
kesadaran guru sejati (ruh) yang sekian lama terkubur dan tertimbun nafsu dan
ego ini, Bonang menguji tekad Raden Syahid dengan menyuruhnya untuk diam di
pinggir kali.
Ya,
perintahnya hanya diminta untuk diam tok, tidak diminta untuk dzikir atau
ritual apapun. Cukup diam atau meneng di tempat. Dia tidak diminta memikirkan
tentang Tuhan, atau Dzat Yang Adikodrati yang menguasai alam semesta. Tidak,
Sunan Bonang hanya meminta agar sang murid untuk patuh, yaitu DIAM, MENENG,
HENING, PASRAH, SUMARAH, SUMELEH. Awalnya, orang diam pikirannya kemana-mana.
Namun sekian waktu diam di tempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan
akhirnya benar-benar tidak memiliki daya lagi untuk berpikir, energi
keinginan duniawinya lepas landas dan lenyap. Raden Syahir mengalami suwung
total, fana total karena telah hilang sang diri/ego.
“BADANKU
BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA, KUMEBUL
TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO
NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA TURU,
AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”
Demikian
gambaran kesadaran ruh Raden Syahid kala itu. Berapa lama Raden Syahid diam
di pinggir sungai? Tidak ada catatan sejarah yang pasti. Namun dalam salah
satu hikayat dipaparkan bahwa sang sunan bertapa hingga rerumputan menutupi
tubuhnya selama lima tahu. Setelah dianggap selesai mengalami penyucian diri
dengan bangunnya kesadaran ruh, Sunan Bonang menggembleng muridnya dengan
kawruh ilmu-ilmu agama. Dianjurkan juga oleh Bonang agar Raden Syahid berguru
ke para wali yang sepuh yaitu Sunan Ampel di Surabaya dan Sunan Giri di
Gresik. Raden Syahid yang kemudian disebut Sunan Kalijaga ini menggantikan
Syekh Subakir gigih berdakwah hingga Semenanjung Malaya hingga Thailand
sehingga dia juga diberi gelar Syekh Malaya.
Malaya
berasal dari kata ma-laya yang artinya mematikan diri. Jadi orang yang telah
mengalami “mati sajroning urip” atau orang yang telah berhasil mematikan
diri/ego hingga mampu menghidupkan diri-sejati yang merupakan guru
sejati-NYA. Sebab tanpa berhasil mematikan diri, manusia hanya hidup di dunia
fatamorgana, dunia apus-apus, dunia kulit. Dia tidak mampu untuk masuk ke
dunia isi, dan menyelam di lautan hakikat dan sampai di palung makrifatullah.
Salah
satu ajaran Sunan Kalijaga yang didapat dari guru spiritualnya, Sunan Bonang,
adalah ajaran hakikat shalat sebagaimana yang ada di dalam SULUK WUJIL:
UTAMANING SARIRA PUNIKI, ANGRAWUHANA JATINING SALAT, SEMBAH LAWAN PUJINE,
JATINING SALAT IKU, DUDU NGISA TUWIN MAGERIB, SEMBAH ARANEKA, WENANGE PUNIKU,
LAMUN ARANANA SALAT, PAN MINANGKA KEKEMBANGING SALAM DAIM, INGARAN TATA
KRAMA. (Unggulnya diri itu mengetahui HAKIKAT SALAT, sembah dan pujian. Salat
yang sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat Isya atau maghrib. Itu namanya
sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu hanya hiasan dari SALAT DAIM,
hanya tata krama).
Di
sini, kita tahu bahwa salat sejati adalah tidak hanya mengerjakan sembah raga
atau tataran syariat mengerjakan sholat lima waktu. Salat sejati adalah SALAT
DAIM, yaitu bersatunya semua indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya
dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan: HU-ALLAH,
DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat mengeluarkan nafas.
Sebagaimana yang ada di dalam Suluk Wujil: PANGABEKTINE INGKANG UTAMI, NORA
LAN WAKTU SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU, SASOLAHE
RAGANIREKI, TAN SIMPANG DADI SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS DADI
SEMBAH, IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. (Berbakti yang
utama tidak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam,
bicara, dan semua gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak
dan kencing pun juga kegiatan menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang
tidak pernah berakhir)
Jadi
hakikat yang disebut Sholat Daim nafas kehidupan yang telah manunggaling
kawulo lan gusti, yang manifestasinya adalah semua tingkah laku dan perilaku
manusia yang diniatkan untuk menyembah-Nya. Selalu awas, eling dan waspada
bahwa apapun yang kita pikirkan, apapun yang kita kehendaki, apapun yang kita
lakukan ini adalah bentuk yang dintuntun oleh AKU SEJATI, GURU SEJATI YANG
SELALU MENYUARAKAN KESADARAN HOLISTIK BAHWA DIRI KITA INI ADALAH DIRI-NYA,
ADA KITA INI ADALAH ADA-NYA, KITA TIDAK ADA, HANYA DIA YANG ADA.
Sholat
daim ini juga disebut dalam SULUK LING LUNG karya Sunan Kalijaga: SALAT DAIM
TAN KALAWAN, MET TOYA WULU KADASI, SALAT BATIN SEBENERE, MANGAN TURU SAHWAT
NGISING. (Jadi sholat daim itu tanpa menggunakan syariat wudhu untuk menghilangkan
hadats atau kotoran. Sebab kotoran yang sebenarnya tidak hanya kotoran badan
melainkan kotoran batin. Salat daim boleh dilakukan saat apapun, misalnya
makan, tidur, bersenggama maupun saat membuang kotoran.)
Ajaran
makrifat lain Sunan Kalijaga adalah IBADAH HAJI. Tertera dalam Suluk Linglung
suatu ketika Sunan Kalijaga bertekad pergi ke Mekkah untuk melaksanakan
ibadah haji. Di tengah perjalanan dia dihentikan oleh Nabi Khidir. Sunan
dinasehati agar tidak pergi sebelum tahu hakikat ibadah haji agar tidak
tersesat dan tidak mendapatkan apa-apa selain capek. Mekah yang ada di Saudi
Arabia itu hanya simbol dan MEKAH YANG SEJATI ADA DI DALAM DIRI. Dalam suluk
wujil disebutkan sebagai berikut:
NORANA WERUH ING MEKAH IKI, ALIT MILA TEKA ING AWAYAH, MANG TEKAENG PRANE YEN
ANA SANGUNIPUN, TEKENG MEKAH TUR DADI WALI, SANGUNIPUN ALARANG, DAHAT DENING
EWUH, DUDU SREPI DUDU DINAR, SANGUNIPUN KANG SURA LEGAWENG PATI, SABAR LILA
ING DUNYA.
MESJID
ING MEKAH TULYA NGIDERI, KABATOLLAH PINIKANENG TENGAH, GUMANTUNG TAN
PACACANTHEL, DINULU SAKING LUHUR, LANGIT KATON ING NGANDHAP IKI, DINULU
SAKING NGANDHAP, BUMI ANENG LUHUR, TINON KULON KATON WETAN, TINON WETAN KATON
KULON IKU SINGGIH TINGALNYA AWELASAN.
(Tidak
tahu Mekah yang sesugguhnya. Sejak muda hingga tua, seseorang tidak akan
mencapai tujuannya. Saat ada orang yang membawa bekal sampai di Mekah dan
menjadi wali, maka sungguh mahal bekalnya dan sulit dicapai. Padahal, bekal
sesungguhnya bukan uang melainkan KESABARAN DAN KESANGGUPAN UNTUK MATI.
SESABARAN DAN KERELAAN HIDUP DI DUNIA. Masjid di Mekah itu melingkar dengan
Kabah berada di tengahnya. Bergantung tanpa pengait, maka dilihat dari atas
tampak langit di bawah, dilihat dari bawah tampak bumi di atas. Melihat yang
barat terlihat timur dan sebalinya. Itu pengelihatan yang terbalik).
Maksudnya,
bahwa ibadah haji yang hakiki adalah bukanlah pergi ke Mekah saja. Namun
lebih mendalam dari penghayatan yang seperti itu. Ibadah yang sejati adalah
pergi ke KIBLAT YANG ADA DI DALAM DIRI SEJATI. Yang tidak bisa terlaksana
dengan bekal harta, benda, kedudukan, tahta apapun juga. Namun sebaliknya,
harus meletakkan semua itu untuk kemudian meneng, diam, dan mematikan seluruh
ego/aku dan berkeliling ke kiblat AKU SEJATI. Inilah Mekah yang metafisik dan
batiniah. Memang pemahaman ini seperti terbalik, JAGAD WALIKAN. Sebab apa
yang selama ini kita anggap sebagai KEBENARAN DAN KEBAIKAN MASIHLAH PEMAHAMAN
YANG DANGKAL. APA YANG KITA ANGGAP TERBAIK, TERTINGGI SEPERTI LANGIT DAN
PALING BERHARGA DI DUNIA TERNYATA TIDAK ADA APA-APANYA DAN SANGAT RENDAH
NILAINYA.
Apa
bekal agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati?
Bekalnya adalah kesabaran dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki iman
yang teguh dalam memilih jalan yang barangkali dianggap orang lain sebagai
jalan yang sesat. Ibadah haji metafisik ini akan mengajarkan kepada kita
bahwa episentrum atau pusat spiritual manusia adalah BERTAWAF. Berkeliling ke
RUMAH TUHAN, berkeliling bahkan masuk ke AKU SEJATI dengan kondisi yang
paling suci dan bersimpuh di KAKI-NYA YANG MULIA. Tujuan haji terakhir adalah
untuk mencapai INSAN KAMIL, yaitu manusia sempurna yang merupakan kaca
benggala kesempurnaan-Nya.
Sunan
Kalijaga adalah manusia yang telah mencapai tahap perjalanan spiritual
tertinggi yang juga telah didaki oleh Syekh Siti Jenar. Berbeda dengan Syekh
Siti Jenar yang berjuang di tengah rakyat jelata, Sunan Kalijaga karena
dilahirkan dari kerabat bangsawan maka dia berjuang di dekat wilayah
kekuasaan. Di bidang politik, jasanya terlihat saat akan mendirikan kerajaan
Demak, Pajang dan Mataram. Sunan Kalijaga berperan menasehati Raden Patah
(penguasa Demak) agar tidak menyerang Brawijaya V (ayahnya) karena beliau
tidak pernah berlawanan dengan ajaran akidah. Sunan Kalijaga juga mendukung
Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang dan menyarankan agar ibukota dipindah
dari Demak ke Pajang (karena Demak dianggap telah kehilangan kultur Jawa.
Pajang
yang terletak di pedalaman cocok untuk memahami Islam secara lebih mendalam
dengan jalur Tasawuf. Sementara kota pelabuhan jalurnya syariat. Jasa lain
Sunan Kalijaga adalah mendorong Jaka Tingkir (Pajang) agar memenuhi janjinya
memberikan tanah Mataram kepada Pemanahan serta menasehati anak Pemanahan,
yaitu Panembahan Senopati agar tidak hanya mengandalkan kekuatan batin melalui
tapa brata, tapi juga menggalang kekuatan fisik dengan membangun tembok
istana dan menggalang dukungan dari wilayah sekeliling. Bahkan Sunan Kalijaga
juga mewariskan pada Panembahan Senopati baju rompi Antakusuma atau Kyai
Gondhil yang bila dipakai akan kebal senjata apapun.
MAKRIFAT
SUNAN KALIJAGA
Jeng Sunan Kalijaga ngling
Amdehar ing pangawikan
Den waspada ing mangkene
Sampun nganggo kumalamat
Den awas ing pangeran
Kadya paran awasipun
Pangeran pan ora rupa
Nora arah nora warni
Tan ana ing wujudira
Tanpa mangsa tanpa enggon
Sajatine nora nana
Lamun ora anaa
Dadi jagadipun suwung
Nora nana wujudira
(Sunan Kalijaga berkata, memaparkan pengetahuannya.
Hendaknya waspada pada yang berikut ini.
Janganlah ragu-ragu. Lihatlah Tuhan secara jelas.
Tapi, bagaimana melihat-Nya.
Karena Tuhan itu tidak memiliki rupa.
Tuhan tidak berarah dan tidak berwarna.
Tidak ada wujud-Nya. Tidak terikat oleh waktu dan tempat.
Sebenarnya Ada-Nya itu tiada.
Seandainya Dia tidak ada,
maka alam raya ini kosong dan tidak ada wujudnya.)
–Serat Siti Jenar, Tan Khoen Swie Kediri 1922
Pendakian spiritual itu mulai dari mana? Mulai dari syariat dulu, kemudian
menuju tarikat, hakikat dan akhirnya sampai pada makrifat? Atau Makrifat
(mengenal Tuhan) dulu, kemudian penghayatan hakikat, kemudian menjalankan
tarikat dan melaksanakan syariat? Menurut saya, pendakian spiritual bisa dari
mana-mana. Kita tidak perlu kebingungan terhadap mana yang harus terlebih
dulu kita jalani. Semuanya boleh sebagai titik pijak untuk memulai
perjalanan.
Ada banyak teman yang memulai perjalanan spiritual dengan “tidak percaya”
terhadap adanya Tuhan. Lalu belajar tentang ilmu ketuhanan, dan setelah
kedewasaan intelektualnya mengalami kemapanan dan kemudian dia yakin adanya
Tuhan dan kemudian menjalankan syariat. Yang demikian ini hebat.
Ada yang memulai dengan menjalankan syariat agama. Sebab dari kecil dia
berada di dalam lingkungan yang taat beragama. Oleh orang tuanya, dia dididik
untuk menjalankan syariat agama secara leterluks. Kemudian seiring perjalanan
usianya, dia mulai mencari tahu dengan banyak belajar tentang agama, yang
telah dijalaninya selama ini. Himngga kemudian pengetahuan dan perenungannya
sampai pada hakikat. Kemudian dia menjalani laku suluk/tasawuf dan akhirnya
mendapatkan pencerahan Makrifat. Yang demikian ini luar biasa.
Ada pula yang tidak mulai apa-apa. Ya tidak menjalankan syariat agama, ya
tidak berusaha mencari tahu tentang Tuhan. Dia skeptis dan agnostik terhadap
berbagai wacara agama serta kerokhanian. Dia seakan puas dengan apa yang ada
pada dirinya. Otaknya tidak digunakan untuk berpikir tentang Tuhan. Namun, di
tengah hidupnya dia dipaksa untuk menerima banyak hal yang tidak mauk akal
hingga suatu ketika kesadarannya mengalami “BYAR”. Tiba-tiba dia sadar apa
yang telah dijalaninya selama ini. Dia pun menemukan Tuhan di dalam hidupnya.
Sukur alhamdulillah.
Suatu saat dalam hidupnya, Tuhan pasti akan datang membawa cahaya-Nya yang
suci. Dia akan menerangi diri pribadi kita sehingga yang sebelumnya hanya
mampu melihat fakta-fakta dengan inderanya, maka setelah pencerahan Tuhan itu
datang maka dia mampu untuk melihat hubungan antar fakta dan akhirnya
menemukan kesimpulan bahwa hanya ada satu Tuhan yang wajib disembah oleh
manusia.
Tuhan itu bukan benda-benda. Tuhan ya Tuhan. Adanya berbeda dengan apa
yang pernah diketahui oleh manusia. Yang pernah diketahui oleh manusia
berasal dari pengalaman inderanya. Nah, wujud Tuhan ini tidak ada di dalam
gudang memori manusia. Sehingga mengatakan Tuhan seperti A, B, C pasti jelas
bukan Tuhan. Tuhan sebagaimana yang dibayangkan oleh manusia, tentu berbeda
dengan Tuhan sebagaimana wujud-Nya yang asli. Anggapan tentang Tuhan beda
dengan Tuhan yang sebenarnya. Sama seperti anggapan saya tentang mobil Mercy,
tidak sama dengan mobil Mercy yang sebenarnya. Sebab saya buta tentang mobil,
apalagi tidak pernah memiliki mercy sebelumnya sehingga penggambaran saya
tentang Mercy berbeda dengan Mercy yang sebenarnya.
Dikatakan oleh Sunan Kalijaga, sebenarnya wujud Tuhan sangat jelas… sangat
sangat jelas! Nah, kejelasan ini pasti tidak dimaknai sebagaimana kejelasan
benda-benda. Benda bisa dilihat oleh indera. Namun wujud Tuhan? Disinilah
kita akan semakin beranjak arif bahwa Tuhan yang tidak bisa digambarkan oleh
kata-kata manusia itu harusnya tidak dilihat dengan indera. Namun oleh
“sesuatu” yang adanya jauh berada di dalam diri manusia. Yaitu batin yang
intuitif yang disebut dengan guru sejati. Guru sejatilah yang mampu
mengantarkan kita untuk melihat dengan jelas diri pribadi. (sukma sejati)
Diri sejati adalah tempat bersemayam Tuhan dalam diri manusia. Di situlah
Tuhan duduk di atas arasy.
Sukma sejati atau Diri Sejati berasal dari Cahaya Yang Terpuji yaitu dari
NUR MUHAMMAD. Nur Muhammad hanya ada SATU. Dan NUR MUHAMMAD inlah yang selalu
mendapatkan PANCARAN ILAHI. Semua yang ada ini pada mulanya satu, termasuk
manusia. Asal cahaya itu satu. Pancarannya ke segenap arah inilah yang
menyebabkan terjadinya “aku” yang jumlahnya banyak. Meski sekarang kita
melihat YANG BANYAK namun itu semua adalah perwujudan dari satu CAHAYA.
Melatih kepekaan batin yang intuitif oleh karenanya sangat penting.
Berbagai macam cara dilakukan oleh peradaban manusia untuk menemukan Tuhan di
dalam diri manusia. Misalnya dengan berkhalwat, atau mengadakan perjalanan
spiritual ke tempat-tempat yang sepi untuk kemudian berdzikir hingga dia
merasakan kefanaan.
Dalam kesendiriannya, sang pejalan spiritual akan menemui banyak
ilusi/bayangan yang mempesona batin. Namun dia tidak boleh menggap bayangan
itulah kenyataan Tuhan. Perjalanan diteruskan hingga pendakian memasuki
godaan besar. Dia ditawari berbagai macam kemuliaan dunia. Egonya yang masih
melekat pada harta, benda, tahta dan wanita ditantang agar dituruti namun
dengan imbalan dia harus menghentikan perjalanannya. Ini tahap berbahaya
menuju final.
Bila perjalanan diteruskan lagi, dia akan sampai pada kesendirian dan
kesenyapan, Tiba-tiba semua yang nggandoli egonya terlepas begitu saja. Dia
tidak butuh apa-apa lagi. Di tahap ini, semua pendamping perjalanan yang
selama ini menemaninya satu persatu otomatis terlepas. Pengiring batin
terlepas, Malaikat lepas karena tidak sanggup menemani lagi, semua saudara
gaib melepaskan dirinya. Ya, dia polos seorang diri menuju Tuhan. Dia kini
sudah dituntun oleh Tuhan sendiri untuk melihat Sang Penuntun, yaitu AKU. Ya,
manusia sudah bisa melihat AKU SEJATI-NYA tanpa was-was tanpa samar-samar
lagi. AKU SEJATI itu begitu terang benderang.
Inilah saat mind/pikiran/budi/rasa sudah tidak lagi digunakan. Atau
disebut dengan NO MIND. Dia sampai tahap SUWUNG atau FANA. Kata tidak lagi
mampu untuk membahasakan apa fana itu. Sebab kata sangatlah terbatas untuk
menggambarkan sesuatu. Apalagi ini menunjuk pada kata yang bukan kata benda,
bukan kata sifat, bukan kata keterangan, bukan kata kerja, bukan apa-apa…. ya
paling gampang kita sebut saja SUWUNG alias MBUH ORA WERUH. Sebab kita tidak
membutuhkan berbagai alat indera dan batin lagi. Kita hanya pasrah, sumeleh,
sumarah saja pada Iradat GUSTI. **
Menelisik Misteri
Sabdo Palon
Dalam upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya mengawali
dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di sini tidak
akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut untuk tidak
menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal penalaran amatlah
rumit, namun dengan pendekatan spiritual dapatlah ditarik benang merahnya
yang akan membawa kepada satu titik terang. Dan akhirnyapun dapat dirunut
secara logika historis.
Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon ?
Karena kata ”Sabdo Palon Noyo Genggong” sebagai penasehat spiritual Prabu
Brawijaya V ( memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat ditemui di
dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir ramalan
Joyoboyo ( 1135 – 1157 ) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173
yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sbb :
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake
jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo
kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji
suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong.
- …;
menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali;
mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya
bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda;
tajamnya tri tunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi
Sabdopalon dan Noyogenggong.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha
suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem
trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki
Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi
njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis
minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha
asung bhekti.
- menyerang
tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria;
karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan
trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya
Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya
tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda
zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh
tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi.
Serat Darmagandhul
Memahami Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur kita dibutuhkan
kearifan dan toleransi yang tinggi, karena mengandung nilai kawruh Jawa yang
sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka akan muncul sentimen terhadap
agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada maksud lain dari saya
kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan leluhur dari
pendekatan spiritual dan historis.
Dalam serat Darmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan
penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon
di Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan
menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta
bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk memukul balik
serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal
ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama
Islam. Karena Sabdo Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu
Brawijaya, maka mereka berpisah. Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita
cermati ucapan-ucapan berikut ini :
”Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên
manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi langit,
wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang mripat
satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang
kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah
wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …”
- ”Paduka
sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya),
kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh, saya malu
kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari
asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak
senang mengasuh paduka. … Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam
ajaran Jawa, nama Manik Maya itu saya, yang membuat kawah air panas di
atas gunung itu semua adalah saya, …”
Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi dan
langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran ini telah
diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi :
”…, hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging
kondhang; …”
- ”…,
itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi
termasyhur; …”.
Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya
yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal sebagai ”Manik Maya”
atau hakekat ”Semar”.
”Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang
ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge
Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”
- ”Sabdo
Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya
tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan
namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”
Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang
bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah
memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan
bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan
Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan
bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan
kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka
bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk
menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya.
Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini :
Sabdapalon ature sêndhu: ”Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa
tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking
lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri,
run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, …..…..,
dumugi sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi,
botên wontên ingkang ewah agamanipun, …..”
- Sabdo
Palon berkata sedih: ”Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa.
Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka
dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun temurun
sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam
mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”
Ungkapan di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi
Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari berakhirnya
kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di tahun 2007, berarti
usia Sabdo Palon telah mencapai 2.532 tahun. Setidaknya perhitungan usia
tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita, walaupun angka-angka yang
menunjuk masa di dalam karya-karya leluhur sangat toleransif sifatnya.
Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini
berupa ”suara tanpa rupa”. Namun secara khusus bagi yang memahami
lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah “mencolo
putro, mencolo putri”, artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai
manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa. Namun dalam perwujudannya
sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar sebagai sosok “Begawan atau
Pandhita”. Hal ini dapat dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep
“menitis” dan “Cokro Manggilingan”.
Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit memahami bahwa
Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual (ponokawan) Prabu Brawijaya
merupakan sosok Semar yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan
:
”…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda
têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong:
langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat
pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.”
- ”…,
apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya
kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan,
Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu berlaku
sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”
Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati yang
selalu mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah berpikir
atau salah dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar ketentuan-ketentuan
Tuhan Yang Maha Esa. Semar selalu memberikan piwulangnya untuk bagaimana
berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia fana ini sebagai bekal untuk
perjalanan panjang berikutnya nanti.
Jadi Semar merupakan pamomong yang ”tut wuri handayani”, menjadi tempat
bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta memiliki
sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge
winarah). Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa ”perintah
untuk melakukan” tetapi lebih kepada ”bagaimana sebaiknya melakukan”. Semua
keputusan yang akan diambil diserahkan semuanya kepada ”majikan”nya. Semar
atau Kaki Semar sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki Sabdopalon,
Sang Hyang Ismoyo, Ki Bodronoyo, dan lain-lain.
Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara Sabdo
Palon dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo
Palon menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang mengandung prediksi
tentang sosok masa depan yang diharapkannya. Berikut ungkapan-ungkapan itu :
”….. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami
Buddha, turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên
nunut bangsa sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang
mangrêti.”
- ”…..
Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama
Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang memahami
kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya), Jawi-nya
hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan dipimpin
oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti.”
”….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng
tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp
diwulang wêruha marang bênêr luput.”
- ”…..
Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada orang Jawa
menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah yang
diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan (yang telah kehilangan Jawa-nya)
akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.”
Dari dua ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa
suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang
Jawi) yang akan memimpin bumi nusantara ini. Juga dikatakan bahwa ada
saat nanti datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang memakai nama sepuh/tua
(bisa jadi ”mbah”, ”aki”, ataupun ”eyang”) yang memegang teguh kawruh Jawa
akan mengajarkan dan memaparkan kebenaran dan kesalahan dari peristiwa yang
terjadi saat itu dan akibat-akibatnya dalam waktu berjalan. Hal ini menyiratkan
adanya dua sosok di dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang merupakan sabda
prediksi di masa mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan pembimbing
spiritual (seorang pandhita). Ibarat Arjuna dan Semar atau juga Prabu
Parikesit dan Begawan Abhiyasa. Lebih lanjut diceritakan :
”Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong,
nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa,
wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: ”Ing besuk nagara Blambangan
salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang
tanah Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng
tanah sabrang.”
- “Sang
Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan Nayagenggong, namun orang
dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung kemudian berkata
kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi Banyuwangi,
jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah Jawa membawa
asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di tanah seberang.”
Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya
berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah seberang yang
dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali. Untuk mengetahui lebih
lanjut guna menguak misteri ini, ada baiknya kita kaji sedikit tentang
Ramalan Sabdo Palon berikut ini.
Ramalan Sabdo Palon
Karena Sabdo Palon tidak berkenan berganti agama Islam, maka dalam naskah
Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan sabdanya sbb :
3.
Sabda Palon matur sugal, ”Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama Islam,
Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang anak putu,
Sagung kang para Nata, Kang jumeneng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula
pisahan.
- Sabda
Palon menjawab kasar: ”Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya
ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu
anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus
berpisah.
4.
Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur
petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep
gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Buda
kula sebar tanah Jawa.
- Berpisah
dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon
dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi
(maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.
5.
Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken putu
kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur atempur,
Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus njeblug
mili lahar.
- Bila
ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin
setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur
leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini.
Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.
6.
Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika medal
kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu,
Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta kaowahan.
- Lahar
tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda
kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi).
Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa
segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.
7.
Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan
tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng
tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah
sirna manungsa prapteng pralaya.
- Kelak
waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi
Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah.
Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia
sehingga banyak yang meninggal dunia.
8.
Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring gesang, Tan
kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing sakwasanipun, Sedaya
pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana kang akarya.
- Bahaya
yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan
tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal
tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.
Dari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon menyatakan
berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya. Perlu kita tahu
bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo. Jadi
ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam
kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo.
Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya
akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda
tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi
ke arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti
bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam dunia
pewayangan keadaan ini dilambangkan dengan judul: ”Semar Ngejawantah”.
Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian muntahnya lahar gunung Merapi
tahun 2006 lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat statusnya
menjadi yang tertinggi : ”Awas Merapi”. Saat kejadian malam itu lahar merapi
keluar bergerak ke arah ”Barat Daya”. Pada hari itu tanggal 13 Mei 2006
adalah malam bulan purnama bertepatan dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan
Hari Raya Kuningan (Hindu). Secara hakekat nama ”Sabdo Palon Noyo Genggong”
adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha).
Di dalam Islam dua satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat.
Apabila angka tanggal, bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 0
+ 0 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka 17 kita kenal merupakan angka keramat. 17
merupakan jumlah raka’at sholat lima waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga
merupakan lambang hakekat dari ”bumi sap pitu” dan ”langit sap pitu” yang
berasal dari Yang Satu, Allah SWT. Sedangkan angka 8 merupakan lambang
delapan penjuru mata angin. Di Bali hal ini dilambangkan dengan apa yang kita
kenal dengan ”Sad Kahyangan Jagad”. Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan
dewa-dewa menyatu, menyambut dan menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo
Palon) untuk turun ke bumi. Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah
sosok dewa yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini
melambangkan hakekat tempat atau sarana turunnya dewa ke bumi (menitis).
Siapa Sejatinya ”Sabdo Palon Noyo Genggong” ?
Setelah kita membaca dan memahami secara keseluruhan wasiat-wasiat leluhur
Nusantara yang ada di blog/buku ini, maka telah sampai saatnya saya akan
mengulas sesuai dengan pemahaman saya tentang siapa sejatinya Sabdo Palon
Noyo Genggong itu. Dari penuturan bapak Budi Marhaen, saya mendapatkan
jawaban: ”Sabdo Palon adalah seorang ponokawan Prabu Brawijaya, penasehat
spiritual dan pandhita sakti kerajaan Majapahit. Dari penelusuran secara
spiritual, Sabdo Palon itu sejatinya adalah : Dang Hyang Nirartha/ Mpu
Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru yang akhirnya moksa di Pura
Uluwatu.”
Dari referensi yang saya dapatkan, Dang Hyang Nirartha adalah anak dari
Dang Hyang Asmaranatha, dan cucu dari Mpu Tantular atau Dang Hyang
Angsokanatha (penyusun Kakawin Sutasoma dimana di dalamnya tercantum
”Bhinneka Tunggal Ika”). Danghyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha yang
kemudian beralih menjadi pendeta Syiwa. Beliau juga diberi nama Mpu Dwijendra
dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Beliau juga dikenal sebagai seorang
sastrawan.
Dalam “Dwijendra Tattwa” dikisahkan sebagai berikut :”Pada Masa Kerajaan
Majapahit di Jawa Timur, tersebutlah seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang
Dwi Jendra. Beliau dihormati atas pengabdian yang sangat tinggi terhadap raja
dan rakyat melalui ajaran-ajaran spiritual, peningkatan kemakmuran dan
menanggulangi masalah-masalah kehidupan. Beliau dikenal dalam menyebarkan
ajaran Agama Hindu dengan nama ”Dharma Yatra”. Di Lombok Beliau disebut ”Tuan
Semeru” atau guru dari Semeru, nama sebuah gunung di Jawa Timur.”
Dengan kemampuan supranatural dan mata batinnya, beliau melihat
benih-benih keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak
melerai pihak-pihak yang bertikai, akan tetapi tidak mampu melawan kehendak
Sang Pencipta, ditandai dengan berbagai bencana alam yang ditengarai turut
ambil kontribusi dalam runtuhnya kerajaan Majapahit (salah satunya adalah
bencana alam ”Pagunung Anyar”). Akhirnya beliau mendapat petunjuk untuk
hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau
Bali. Sebelum pergi ke Pulau Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah ke Daha
(Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian ke Blambangan.
Beliau pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka
1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong.
Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan
paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai
Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang Nirarta dijuluki pula Pedanda
Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supranatural yang membuat
Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta
(pendeta kerajaan).
Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan
rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan
peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah
leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat,
organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.
Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu
tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim
membimbing umat adalah : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Ulu watu, Bukit
Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok
Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting,
Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dan lain-lain. Akhirnya Dang
Hyang Nirartha menghilang gaib (moksa) di Pura Uluwatu. (Moksa = bersatunya
atman dengan Brahman/Sang Hyang Widhi Wasa, meninggal dunia tanpa
meninggalkan jasad).
Setelah mengungkapkan bahwa Sabdo Palon sejatinya adalah Dang Hyang
Nirartha, lalu bapak Budi Marhaen memberikan kepada saya 10 (sepuluh) pesan
yang diperoleh dari kegaiban dari beliau Dang Hyang Nirartha sbb:
1. Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun tlaga, satus reka saliunnya,
kasor ento utamannya, ring sang ngangun yadnya pisan, kasor buin yadnyane
satus, baan suputra satunggal.
- Ada
sebenarnya ucapan ilmu pengetahuan, utama orang yang membangun telaga,
banyaknya seratus, kalah keutamaannya itu, oleh orang yang melakukan
korban suci sekali, korban suci yang seratus ini, kalah oleh anak baik
seorang.
2. Bapa mituduhin cening, tingkahe menadi pyanak, eda bani ring
kawitan, sang sampun kaucap garwa, telu ne maadan garwa, guru reka, guru
prabhu, guru tapak tui timpalnya.
- Ayahanda
memberitahumu anakku, tata cara menjadi anak, jangan durhaka pada
leluhur, orang yang disebut guru, tiga banyaknya yang disebut guru, guru
reka, guru prabhu, dan guru tapak (yang mengajar) itu.
3. Melah pelapanin mamunyi, ring ida dane samian, wangsane tong
kaletehan, tong ada ngupet manemah, melah alepe majalan, batise twara
katanjung, bacin tuara bakat ingsak.
- Lebih
baik hati-hati dalam berbicara, kepada semua orang, tak akan ternoda
keturunannya, tak ada yang akan mencaci maki, lebih baik hati-hati dalam
berjalan, sebab kaki tak akan tersandung, dan tidak akan menginjak
kotoran.
4. Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa nah gawenang, patut tingkahe
buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya anggon malihat, mamedasin ane
patut, da jua ulah malihat.
- Mulai
sekarang lakukan, lakukanlah berdua, patut utamakan tingkah laku yang
benar, seperti menggunakan mata, gunanya untuk melihat, memperhatikan
tingkah laku yang benar, jangan hanya sekedar melihat.
5. Tingkahe mangelah kuping, tuah anggon maningehang, ningehang raose
melah, resepang pejang di manah, da pati dingeh-dingehang, kranannya mangelah
cunguh, anggon ngadek twah gunanya.
- Kegunaan
punya telinga, sebenarnya untuk mendengar, mendengar kata-kata yang
benar, camkan dan simpan dalam hati, jangan semua hal didengarkan.
6. Nanging da pati adekin, mangulah maan madiman, patutang jua
agrasayang, apang bisa jwa ningkahang, gunan bibih twah mangucap, de mangucap
pati kacuh, ne patut jwa ucapang.
- Jangan
segalanya dicium, sok baru dapat mencium, baik-baiklah caranya
merasakan, agar bisa melaksanakannya, kegunaan mulut untuk berbicara,
jangan berbicara sembarangan, hal yang benar hendaknya diucapkan.
7. Ngelah lima da ja gudip, apikin jua nyemakang, apang patute
bakatang, wyadin batise tindakang, yatnain twah nyalanang, eda jwa mangulah
laku, katanjung bena nahanang.
- Memiliki
tangan jangan usil, hati-hati menggunakan, agar selalu mendapat
kebenaran, begitu pula dalam melangkahkan kaki, hati-hatilah
melangkahkannya, bila kesandung pasti kita yang menahan (menderita) nya.
8. Awake patut gawenin, apang manggih karahaywan, da maren ngertiang
awak, waluya matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi manandur,
joh pare twara mupuang.
- Kebenaran
hendaknya diperbuat, agar menemukan keselamatan, jangan henti-hentinya
berbuat baik, ibaratnya bagai bercocok tanam, tata cara dalam bertingkah
laku, kalau rajin menanam, tak mungkin tidak akan berhasil.
9. Tingkah ne melah pilihin, buka anake ka pasar, maidep matetumbasan,
masih ya nu mamilihin, twara nyak meli ne rusak, twah ne melah tumbas ipun,
patuh ring ma mwatang tingkah.
- Pilihlah
perbuatan yang baik, seperti orang ke pasar, bermaksud hendak
berbelanja, juga masih memilih, tidak mau membeli yang rusak, pasti yang
baik dibelinya, sama halnya dengan memilih tingkah laku.
10. Tingkah ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak, saluire
kaucap rusak, wantah nista ya ajinnya, buine tong kanggoang anak, kija aba
tuara laku, keto cening sujatinnya.
- Pilihlah
tingkah laku yang baik, jangan mau memakai tingkah laku yang jahat,
betul-betul hina nilainya, ditambah lagi tiada disukai masyarakat,
kemanapun dibawa tak akan laku, begitulah sebenarnya anakku.
KESIMPULAN
”Jadi yang dikatakan “Putra Betara Indra”
oleh Joyoboyo, “Budak Angon” oleh
Prabu Siliwangi, dan “Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu”
oleh Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo
Palon, yang sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha/
Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru.
Pertanyaannya sekarang adalah: Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari
tanda-tanda yang telah nampak dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang ?
Tentu saja sangat tidak etis untuk menjawab secara vulgar persoalan ini.
Sangat sensitif. Karena ini adalah wilayah para kasepuhan suci, waskito,
ma’rifat dan mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan membuktikan
kebenarannya. Dimensi spiritual sangatlah pelik dan rumit. Sabdo Palon yang
telah menitis kepada ”seseorang” itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh)
satrio seperti yang telah diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga
memiliki karakter Putra Betara Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo.
Secara fisik ”seseorang” itu ditandai dengan memegang sepasang pusaka
Pengayom Nusantara hasil karya beliau Dang Hyang Nirartha, yaitu : Pusaka
Oumyang Majapahit (lambang Daya Atman) dan Pusaka Sabdo Palon (Ki Rancak –
lambang Daya Rohul Kudus). Pusaka tersebut merupakan kata sandi (password)
berkaitan dengan hakekat keberadaan Pura Rambut Siwi sebagai pembuktiannya.”
Dapatlah dikatakan bahwa : Putra Betara Indra = Budak Angon = Satrio
Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para leluhur
nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat nusantara selama
ini, yaitu sosok yang dikenal dengan nama ”SATRIO PININGIT”. Banyak pendapat
yang berkembang di masyarakat luas selama ini dalam memandang dan memahami isitilah
”Satrio Piningit”. Pemahamannya tentu bertingkat-tingkat sesuai dengan
kapasitas keilmuan masing-masing orang.
Satrio Piningit yang telah menjadi mitos selama perjalanan sejarah bangsa
ini memunculkan misteri tersendiri. Ia merupakan perbendaharaan rahasia bumi
dan langit yang teramat sulit ditembus oleh akal pikiran. Keberadaannya gaib
namun nyata. Bahkan para winasis waskita pun belum tentu mampu menembus aura
misterinya. Karena dalil yang berlaku seperti halnya dalam memandang Semar.
Orang yang hatinya kotor dan masih diliputi dengan berbagai hawa nafsu akan
sulit melihat Semar. Namun Semar dapat terlihat bagi orang yang hatinya
bersih/suci dan melakoni tirakat (tapaning ngaurip/tasawuf hidup)
sepanjang hidupnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa tidak semua orang dapat
menjumpainya. Semua akan terfilter secara alamiah. Atau dengan bahasa lain,
jika seseorang telah mendapatkan hidayah Allah SWT maka dia dapat menjumpai
Semar yang pada hakekatnya adalah pancaran Cahaya Ilahiah itu sendiri.
Walaupun tidak menjumpainya namun daya-daya kehadirannya dapat dirasakan
secara luas tanpa disadari. Fenomena ini dilambangkan dalam cerita pewayangan
ketika ”Semar Ngejawantah” dan kemudian saatnya ”Semar Mbabar Diri” maka
pecahlah peperangan ”Bharatayudha Jaya Binangun”. Perangnya kebaikan melawan
keburukan. Di saat inilah kita di jagad nusantara ini sedang memasuki dan
menjalani fase tersebut.
Hakekat Satrio Piningit menurut pandangan bapak Budi Marhaen adalah sosok
seorang ”Guru Sejati”. Sosok
guru yang tidak menyebarkan ”ajaran ataupun agama baru” namun menebar kasih
ke atas seluruh umat tanpa membedakan golongan, bangsa, suku, maupun agama
atau kepercayaan. Bukan sekedar sosok Satrio Piningit atau Guru Sejati yang
harus kita cari, akan tetapi yang sangat hakiki adalah ”Kebenaran Sejati”
yang harus dicari atau ditembus di dalam dirinya. Maka dalam perjalanan
tasawuf hal ini dikenal dengan dalil ”Man arofa nafsahu faqad arofa
robbahu” (kenalilah dirimu sendiri sebelum mengenal Allah).
Sehingga kembali dalam konteks ”Satrio Piningit” yang sejatinya adalah
Sabdo Palon, terdapat suatu misteri kata sandi yang harus dipecahkan, yaitu :
”Di balik SP (Satrio Piningit) terdapat 10 SP.” Angka 10 menyiratkan bahwa
untuk mencari yang 1 (satu = Esa), kita harus mengosongkan diri (0). Angka 0
dan 1 adalah bilangan digit (binary) yang melambangkan kalimah toyyibah : ”La
ilaha ilallah” (tiada Tuhan (0) selain Allah (1).
Perjanjian Sabdopalon - Syeh Subakir
Konon ada semacam perjanjian antara Sabdopalon
sebagai Pamomong (Danyang Gaib) Tanah Jawa dengan Syeh Subakir sebagai
penyebar Agama Islam generasi awal di Jawa ini. Tersebutlah kisah tersebut
dalam tulisan lontar kuno. Lontar tersebut diperkirakan ditulis oleh Kanjeng
Sunan Drajad atau setidak - tidaknya oleh murid atau pengikut beliau.
Cerita tentang kisah ini pernah dipentaskan
sebagai lakon wayang kulit bergenre wayang songsong (wayang kulit
yang berisi cerita hikayat dan legenda Jawa) yang digelar di Desa Drajad,
Paciran, Lamongan ( sebuah desa tempat situs Sunan Drajad ).
Kisah diawali dengan adanya persidangan di
Istana Kesultanan Turki Utsmania di Istambul yang dipimpin langsung oleh
Sultan Muhammad I. Persidangan kali ini membahas mimpi Sang Sultan. Menurut
Sultan Muhammad, beliu bermimpi mendapat perintah untuk menyebarkan dakwah
islamiah ke Tanah Jawa. Adapun mubalighnya haruslah berjumlah sembilan orang.
Jika ada yang pulang atau wafat maka akan digantikan oleh ulama lain asal
tetap berjumlah sembilan.
Maka dikumpulkanlah beberapa ulama terkemuka
dari seluruh dunia Islam waktu itu. Para ulama yang dikumpulkan tersebut
mempunyai spesifikasi keahlian masing-masing. Ada yang ahli tata negara, ahli
perubatan, ahli tumbal, dll. Titah dari Baginda Sultan Muhammad kepada mereka
adalah perintah untuk mendatangi Tanah Jawa dengan tugas khusus yaitu
penyebaran Agama Islam.
Dibawah ini adalah dialog antara Sabdopalon
dengan Syeh Subakir yang terjadi di atas Gunung Tidar. Syeh Subakir adalah
salah satu ulama yang diutus Sultan Muhammad untuk menyebarkan Islam di Tanah
Jawa ini. Adapun keahlian Syeh Subakir adalah dalam bidang membuat
danmemasang tumbal. Dialog yang penulis turunkan ini adalah dialog versi
imaginer yang penulis olah dari hikayat tersebut dengan bahasa penulis
sendiri.
Syeh Subakir : Kisanak, siapakah
kisanak ini, tolong jelaskan.
Sabdopalon : Aku ini Sabdopalon,
pamomong (penggembala) Tanah Jawa sejak jaman dahulu kala. Bahkan sejak jaman
kadewatan (para dewa) akulah pamomong para kesatria leluhur. Dulu aku
dikenali sebagai Sang Hyang Ismoyo Jati, lalu dikenal sebagai Ki Lurah Semar
Bodronoyo dan sekarang jaman Majapahit ini namaku dikenal sebagai Sabdopalon.
Syeh Subakir : Oh, berarti Kisanak ini
adalah Danyang (Penguasa) Tanah Jawa ini. Perkenalkan Kisanak,
namaku adalah Syeh Subakir berasal dari Tanah Syam Persia.
Sabdopalon : Ada hajad apa gerangan Jengandiko
(Anda) rawuh (datang) di Tanah Jawa ini ?
Syeh Subakir : Saya diutus oleh Sultan
Muhammad yang bertahta di Negeri Istambul untuk datang ke Tanah Jawa ini.
Saya tiadalah datang sendiri. Kami datang dengan beberapa kawan yang
sama-sama diutus oleh Baginda Sultan.
Sabdopalon : Ceritakanlah selengkapnya
Kisanak. Supaya aku tahu duduk permasalahannya.
Syeh Subakir : Baiklah. Pada suatu
malam Baginda Sultan Muhammad bermimpi menerima wisik (ilham). Wisik dari
Hyang Akaryo Jagad, Gusti Allah Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Luhur.
Diperintahkan untuk mengutus beberapa orang ‘alim ke Tanah Jawa ini. Yang
dimaksud orang ‘alim ini adalah sebangsa pendita, brahmana dan resi di Tanah
Hindu. Pada bahasa kami disebut ‘Ulama.
Sabdopalon : Jadi Jengandiko ini
termasuk ngulama itu tadi ?
Syeh Subakir : Ya, saya salah satu
dari utusan yang dikirim Baginda Sultan. Adapun tujuan kami dikirim kemari
adalah untuk menyebarkan wewarah suci (ajaran suci), amedar agama suci. Yaitu
Islam.
Sabdopalon : Bukankah Kisanak tahu
bahwa di Tanah Jawa ini sudah ada agama yang berkembang yaitu Hindu dan Buda
yang berasal dari Tanah Hindu ? Buat apa lagi Kisanak menambah dengan agama
yang baru lagi ?
Syeh Subakir : Biarkan kawulo
dasih (rakyat) yang memilih keyakinannya sendiri. Bukuankah Kisanak
sendiri sebagai Danyangnya Tanah Jawa lebih paham bahwa sebelum agama Hindu
dan Budha masuk ke Jawa ini, disinipun sudah ada kapitayan (kepercayaan) ?
Kapitayan atau ‘ajaran’ asli Tanah Jawa yang berupa ajaran Budhi ?
Sabdopalon : Ya, rupanya Kisanak sudah
menyelidiki kawulo Jowo disini. Memang disini sejak jaman sebelum ada agama
Hindu dan Budha, sudah ada ‘kapitayan’ asli. Kapitayan adalah kepercayaan
yang hidup dan berkembang pada anak cucu di Nusantara ini.
Syeh Subakir : Jika berkenan, tolong
ceritakan bagaimana kapitayan yang ada di Tanah Jawa ini.
Sabdopalon : Secara ringkas
Kepercayaan Jawa begini. Manusia Jawa sejak dari jaman para leluhur dahulu
kala meyakini ada Sang Maha Kuasa yang bersifat ‘tan keno kinoyo ngopo’,
tidak bisa digambarkan bagaimana keadaannya. Dialah pencipta segala-galanya.
Bawono Agung dan Bawono Alit. Jagad besar dan jagad kecil. Alam semesta dan
‘alam manusia’. Wong Jowo meyakini bahwa Dia Yang Maha Kuasa ini dekat. Juga
dekat dengan manusia. Dia juga diyakini berperilaku sangat welas asih.
Dia juga diyakini meliputi segala sesuatu yang
ada. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghormati alam sekelilingnya. Karena
bagi mereka semuanya mempunyai sukma. Sukma ini adalah sebagai ‘wakil’ dari
Dia Yang Maha Kuasa itu.
Jika masyarakat Jawa melakukan pemujaan kepada
Sang Pencipta, mereka lambangkan dengan tempat yang suwung. Suwung itu kosong
namun sejatinya bukan kosong namun berisi SANG MAHA ADA. Karena itu tempat
pemujaan orang Jawa disebut Sanggar Pamujan. Di salah satu bagiannya
dibuatlah sentong kosong (tempat atau kamar kosong) untuk arah pemujaan.
Karena diyakini bahwa dimana ada tempat suwung disitu ada Yang Maha Berkuasa.
Syeh Subakir : Nah itulah juga yang
menjadi ajaran agama yang kami bawa. Untuk memberi ageman (pegangan atau
pakaian) yang menegaskan itu semua. Bahwa sejatinya dibalik semua yang maujud
ini ada Sang Wujud Tunggal yang menjadi Pencipta, Pengatur dan Pengayom alam
semesta. Wujud tunggal ini dalam bahasa Arab disebut Al Ahad. Dia maha dekat
kepada manusia, bahkan lebih dekat Dia daripada urat leher manusianya
sendiri. Ajaran agama kami menekankan budi pekerti yang agung yaitu
menebarkan welas asih kepada alam gumebyar, kepada sesama sesama titah atau
makhluk.
Lihatlah Sang Danyang, betapa sudah rusaknya
tatanan masyarakat Majapahit sekarang. Bekas-bekas perang saudara masih
membara. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penindasan ada dimana-mana. Ini
harus diperbaharui budi pekertinya.
Sabdopalon : Aku juga sedih sebenarnya
memikirkan rakyatku. Tatanan sudah bubrah. Para pejabat negara sudah lupa
akan dharmanya. Mereka salin sikut untuk merebutkan jabatan dan kemewahan
duniawi. Para pandito juga sudah tak mampu berbuat banyak. Orang kecil salang
tunjang (bersusah payah) mencari pegangan. Jaman benar-benar jaman edan.
Syeh Subakir : Karena itulah mungkin
Sang Maha Jawata Agung menyuruh Sultan Muhammad Turki untuk mengutus kami ke
sini. Jadi, wahai Sang Danyang Tanah Jawa, ijinkanlah kami menebarkan wewarah
suci ini di wewengkon (wilayah) kekuasaanmu ini.
Sabdopalon : Baiklah jika begitu. Tapi
dengan syarat -syarat yang harus kalian patuhi.
Syeh Subakir : Apa syaratnya itu wahai
Sang Danyang Tanah Jawa ?
Sabdopalon : Pertama, Jangan ada
pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan. Kedua, Jika hendak membuat bangunan
tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun (bangunan) luarnya nampak
cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya Islam. Ketiga, jika mendirikan
kerajaan Islam maka Ratu yang pertama harus dari anak campuran. Maksud
campuran adalah jika bapaknya Hindu maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam
maka ibunya harus Hindu. Keempat, jangan jadikan Wong Jowo berubah menjadi
orang Arab atau Parsi. Biarkan mereka tetap menjadi orang Jawa dengan
kebudayaan Jawa walau agamanya Islam. Karena agama setahu saya adalah dharma,
yaitu lelaku hidup atau budi pekerti. Hati-hati jika sampai Orang Jawa hilang
Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung maka
aku akan datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat - syarat
ini kau abaikan aku akan muncul membuat goro-goro.
Syeh Subakir : Baiklah. Syarat pertama
sampai keempat aku setujui. Namun khusus syarat keempat, betapapun aku dengan
kawan-kawan akan tetap menghormati dan melestarikan budaya Jawa yang
adiluhung ini. Namu jika suatu saat kelak karena perkembangan jaman dan ada
perubahan maka tentu itu bukan dalam kuasaku lagi. Biarlah Gusti Kang Akaryo
Jagad yang menentukannya.
Dalam
upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya mengawali dengan
mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di sini tidak akan
dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut untuk tidak menimbulkan
banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal penalaran amatlah rumit,
namun dengan pendekatan spiritual dapatlah ditarik benang merahnya yang akan
membawa kepada satu titik terang. Dan ini akhirnya dapat dirunut secara
logika historis.
Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon ?
Karena kata Sabdo Palon Noyo Genggong sebagai penasehat spiritual Prabu
Brawijaya V ( memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat ditemui di
dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir ramalan
Joyoboyo (1135 – 1157) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173 yang
menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sbb :
164.
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin
setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen
ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci;
bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong.
(…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali;
mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya
bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya
tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan
Noyogenggong)
173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha
suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem
trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon;
sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora
ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu
jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti.
(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat
bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat;
bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon;
yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang
benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu
telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya;
semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi)
Serat Darmagandhul
Memahami Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur kita dibutuhkan kearifan
dan netralitas yang tinggi, karena mengandung nilai kawruh Jawa yang sangat
tinggi. Jika belum matang beragama maka akan muncul sentimen terhadap agama
lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada maksud lain dari saya kecuali
hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan leluhur dari pendekatan
spiritual dan historis.
Dalam serat Dharmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan
penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon
di Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan
menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta
bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk memukul balik
serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal
ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama
Islam. Karena Sabdo Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu
Brawijaya, maka mereka berpisah. Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita
cermati ucapan-ucapan berikut ini :
Sabdo Palon :
“Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên
manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi langit,
wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang mripat
satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang
kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah
wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …”
(“Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan
jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh,
saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari
asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak
senang mengasuh paduka. … Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam
ajaran Jawa, nama Manik Maya (Semar) itu saya, yang membuat kawah
air panas di atas gunung itu semua adalah saya, …”)
Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi dan
langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran ini telah
diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi :
“…, hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging
kondhang; …”
(“…, itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi
termasyhur; …”). Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa
dirinyalah sebenarnya yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang
dikenal sebagai “Manik Maya” atau “Semar”.
“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang
ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge
Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”
(“ Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana,
jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan
namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”)
Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang
bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah
memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan
bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan
Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan
bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan
kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka
bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk
menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya.
Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini :
Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa
tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking
lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri,
run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, …..
….., dumugi sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr
Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, …..”
(Sabdo Palon berkata sedih: “Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga
tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur
paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun
temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh
raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”)
Ungkapan di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi
Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari berakhirnya
kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di tahun 2007, berarti
usia Sabdo Palon telah mencapai 2.532 tahun. Setidaknya perhitungan usia
tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita, walaupun angka-angka yang
menunjuk masa di dalam wasiat leluhur sangat toleransif sifatnya. Di kalangan
spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini berupa “suara
tanpa rupa”. Namun secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi,
keberadaan Semar diyakini dengan istilah “mencolo putro, mencolo putri”,
artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud
berlainan di setiap masa. Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap
mencirikan karakter Semar sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini
dapat dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan
“Cokro Manggilingan”.
Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit memahami bahwa
Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu Brawijaya merupakan sosok
Semar yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan :
“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda
têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong:
langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat
pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.”
(“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda
artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya
artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah.
Jadi ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng
selamanya.”)
Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati yang
selalu mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah berpikir
atau salah dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar ketentuan-ketentuan
Tuhan Yang Maha Esa. Semar selalu memberikan piwulangnya untuk bagaimana
berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia fana ini sebagai bekal untuk
perjalanan panjang berikutnya nanti. Jadi Semar merupakan pamomong yang “tut
wuri handayani”, menjadi tempat bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya
sangat luas, serta memiliki sifat yang bijaksana dan rendah hati juga
waskitho (ngerti sakdurunge winarah). Semua yang disabdakan Semar
tidak pernah berupa “perintah untuk melakukan” tetapi lebih kepada “bagaimana
sebaiknya melakukan”. Semua keputusan yang akan diambil diserahkan semuanya
kepada “tuan”nya. Semar atau Kaki Semar sendiri memiliki 110 nama,
diantaranya adalah Ki Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo, Ki Bodronoyo, dan
lain-lain.
Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara Sabdo
Palon dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo
Palon menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang mengandung prediksi
tentang sosok masa depan yang diharapkannya. Berikut ungkapan-ungkapan itu :
“….. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami
Buddha, turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên
nunut bangsa sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang
mangrêti.”
(“….. Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan
agama Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang memahami
kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya), Jawi-nya hilang,
suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan dipimpin oleh
orang Jawa (Jawi) yang mengerti.”
“….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng
tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp
diwulang wêruha marang bênêr luput.”
(“….. Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada
orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah
yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan (yang telah kehilangan
Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.”)
Dari dua ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa
suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang
Jawi) yang akan memimpin bumi nusantara ini. Juga dikatakan bahwa ada saat
nanti datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang memakai nama sepuh/tua (bisa
jadi “mbah”, “aki”, ataupun “eyang”) yang memegang teguh kawruh Jawa akan
mengajarkan dan memaparkan kebenaran dan kesalahan dari peristiwa yang
terjadi saat itu dan akibat-akibatnya dalam waktu berjalan. Hal ini
menyiratkan adanya dua sosok di dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang
merupakan sabda prediksi di masa mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan
dan pembimbing spiritual (seorang pandhita). Ibarat Arjuna dan Semar atau
juga Prabu Parikesit dan Begawan Abhiyasa. Lebih lanjut diceritakan :
“Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong,
nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa,
wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing besuk nagara Blambangan
salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang
tanah Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng
tanah sabrang.”
(“Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan Nayagenggong, namun
orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung kemudian berkata
kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi Banyuwangi, jadikan
ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah Jawa membawa asuhannya.
Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di tanah seberang.”)
Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya
berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah seberang yang
dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali. Untuk mengetahui lebih
lanjut guna menguak misteri ini, ada baiknya kita kaji sedikit tentang Ramalan
Sabdo Palon berikut ini.
Ramalan Sabdo Palon
Karena Sabdo Palon tidak berkenan berganti agama Islam, maka dalam naskah
Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan sabdanya sbb :
3.
Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama Islam,
Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang anak putu,
Sagung kang para Nata, Kang jurneneng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula
pisahan.
(Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab
saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu
anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.)
4.
Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur
petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep
gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Buda
kula sebar tanah Jawa.
(Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami
mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi
(maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.)
5.
Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken putu
kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur atempur,
Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus njeblug
mili lahar.
(Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin
setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur
leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila
kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.)
6.
Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika medal
kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu,
Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta kaowahan.
(Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda
kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak
Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa segalanya
harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.)
7.
Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan
tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng
tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah
sirna manungsa prapteng pralaya.
(Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta
Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah.
Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga
banyak yang meninggal dunia.)
8.
Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring gesang,
Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing sakwasanipun,
Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana kang akarya.
(Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan
tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut
sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.)
Dari
bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon menyatakan
berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya. Perlu kita tahu
bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo. Jadi
ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam
kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo.
Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya
akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda
tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi
ke arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti
bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam dunia
pewayangan keadaan ini dilambangkan dengan judul: “Semar Ngejawantah”.
Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian muntahnya lahar gunung Merapi
tahun lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat statusnya menjadi
yang tertinggi : “Awas Merapi”. Saat kejadian malam itu lahar merapi keluar bergerak
ke arah “Barat Daya”. Pada hari itu tanggal 13 Mei 2006 adalah malam bulan
purnama bertepatan dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan
(Hindu). Secara hakekat nama “Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua
satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha). Di dalam Islam dua
satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal,
bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ).
Angka 17 kita kenal merupakan angka keramat. 17 merupakan jumlah raka’at
sholat lima waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang hakekat
dari “bumi sap pitu” dan “langit sap pitu” yang berasal dari Yang Satu, Allah
SWT. Sedangkan angka 8 merupakan lambang delapan penjuru mata angin. Di Bali hal
ini dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan “Sad Kahyangan Jagad”.
Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut dan
menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi. Di dalam
kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh
dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana
turunnya dewa ke bumi (menitis).
SIAPA SEJATINYA “SABDO PALON NOYO GENGGONG” ?
Siapa sejatinya Sabdo Palon Noyo
Genggong itu. “Sabdo Palon adalah seorang ponokawan Prabu Brawijaya,
penasehat spiritual dan pandhita sakti kerajaan Majapahit. Dari penelusuran
secara spiritual, Sabdo Palon itu sejatinya adalah beliau : Dang
Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru
yang akhirnya moksa di Pura Uluwatu.” (merinding juga saya
mendengar nama ini)
Dari referensi yang saya dapatkan, Dang Hyang Nirartha adalah anak dari
Dang Hyang Asmaranatha, dan cucu dari Mpu Tantular atau Dang Hyang
Angsokanatha (penyusun Kakawin Sutasoma dimana di dalamnya tercantum
“Bhinneka Tunggal Ika”). Danghyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha yang
kemudian beralih menjadi pendeta Syiwa. Beliau juga diberi nama Mpu Dwijendra
dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rawuh, beliau juga dikenal sebagai seorang
sastrawan. Dalam Dwijendra Tattwa dikisahkan sebagai berikut :
“Pada Masa Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, tersebutlah seorang Bhagawan
yang bernama Dang Hyang Dwi Jendra. Beliau dihormati atas pengabdian yang
sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui ajaran-ajaran spiritual,
peningkatan kemakmuran dan menanggulangi masalah-masalah kehidupan. Beliau
dikenal dalam menyebarkan ajaran Agama Hindu dengan nama “Dharma Yatra”. Di
Lombok Beliau disebut “Tuan Semeru” atau guru dari Semeru, nama sebuah gunung
di Jawa Timur.”
Dengan kemampuan supranatural dan mata bathinnya, beliau melihat
benih-benih keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak
melerai pihak-pihak yang bertikai, akan tetapi tidak mampu melawan kehendak
Sang Pencipta, ditandai dengan berbagai bencana alam yang ditengarai turut
ambil kontribusi dalam runtuhnya kerajaan Majapahit (salah satunya adalah
bencana alam “Pagunungan Anyar”). Akhirnya beliau mendapat petunjuk untuk
hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau
Bali. Sebelum pergi ke Pulau Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah ke Daha
(Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian ke Blambangan.
Beliau pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka
1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong.
Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan
paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai
Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang Nirarta dijuluki pula Pedanda
Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat
Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta
(pendeta kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena
semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para
bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan,
prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun.
Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan
kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan
karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung
atau kekawin.
Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim
membimbing umat adalah : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Ulu watu, Bukit
Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok
Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari,
Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dan lain-lain.
Akhirnya Dang Hyang Nirartha menghilang gaib (moksa) di Pura Uluwatu. (Moksa
= bersatunya atman dengan Brahman/Sang Hyang Widhi Wasa, meninggal dunia
tanpa meninggalkan jasad).
10 (sepuluh) pesan dari beliau Dang Hyang Nirartha sbb:
- Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun
tlaga, satus reka saliunnya, kasor ento utamannya, ring sang ngangun
yadnya pisan, kasor buin yadnyane satus, baan suputra satunggal. ( bait
5 )
Ada sebenarnya ucapan ilmu pengetahuan, utama orang yang membangun
telaga, banyaknya seratus, kalah keutamaannya itu, oleh orang yang
melakukan korban suci sekali, korban suci yang seratus ini, kalah oleh
anak baik seorang.
- Bapa mituduhin cening, tingkahe menadi
pyanak, eda bani ring kawitan, sang sampun kaucap garwa, telu ne maadan
garwa, guru reka, guru prabhu, guru tapak tui timpalnya. ( bait 6 )
Ayahnda memberitahumu anakku, tata cara menjadi anak, jangan durhaka
pada leluhur, orang yang disebut guru, tiga banyaknya yang disebut guru,
guru reka, guru prabhu, dan guru tapak (yang mengajar) itu.
- Melah pelapanin mamunyi, ring ida dane
samian, wangsane tong kaletehan, tong ada ngupet manemah, melah alepe
majalan, batise twara katanjung, bacin tuara bakat ingsak. ( bait 8 )
Lebih baik hati-hati dalam berbicara, kepada semua orang, tak akan
ternoda keturunannya, tak ada yang akan mencaci maki, lebih baik
hati-hati dalam berjalan, sebab kaki tak akan tersandung, dan tidak akan
menginjak kotoran.
- Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa nah
gawenang, patut tingkahe buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya
anggon malihat, mamedasin ane patut, da jua ulah malihat. ( bait 10 )
Mulai sekarang lakukan, lakukanlah berdua, patut utamakan tingkah laku
yang benar, seperti menggunakan mata, gunanya untuk melihat, memperhatikan
tingkah laku yang benar, jangan hanya sekedar melihat.
- Tingkahe mangelah kuping, tuah anggon
maningehang, ningehang raose melah, resepang pejang di manah, da pati
dingeh-dingehang, kranannya mangelah cunguh, anggon ngadek twah gunanya.
( bait 11 )
Kegunaan punya telinga, sebenarnya untuk mendengar, mendengar kata-kata
yang benar, camkan dan simpan dalam hati, jangan semua hal didengarkan.
- Nanging da pati adekin, mangulah maan
madiman, patutang jua agrasayang, apang bisa jwa ningkahang, gunan bibih
twah mangucap, de mangucap pati kacuh, ne patut jwa ucapang. ( bait 12 )
Jangan segalanya dicium, sok baru dapat mencium, baik-baiklah caranya
merasakan, agar bisa melaksanakannya, kegunaan mulut untuk berbicara,
jangan berbicara sembarangan, hal yang benar hendaknya diucapkan.
- Ngelah lima da ja gudip, apikin jua
nyemakang, apang patute bakatang, wyadin batise tindakang, yatnain twah
nyalanang, eda jwa mangulah laku, katanjung bena nahanang. ( bait 13 )
Memiliki tangan jangan usil, hati-hati menggunakan, agar selalu mendapat
kebenaran, begitu pula dalam melangkahkan kaki, hati-hatilah
melangkahkannya, bila kesandung pasti kita yang menahan (menderita) nya.
- Awake patut gawenin, apang manggih
karahaywan, da maren ngertiang awak, waluya matetanduran, tingkahe ngardinin
awak, yen anteng twi manandur, joh pare twara mupuang. ( bait 14 )
Kebenaran hendaknya diperbuat, agar menemukan keselamatan, jangan
henti-hentinya berbuat baik, ibaratnya bagai bercocok tanam, tata cara
dalam bertingkah laku, kalau rajin menanam, tak mungkin tidak akan
berhasil.
- Tingkah ne melah pilihin, buka anake ka
pasar, maidep matetumbasan, masih ya nu mamilihin, twara nyak meli ne
rusak, twah ne melah tumbas ipun, patuh ring ma mwatang tingkah. ( bait
15 )
Pilihlah perbuatan yang baik, seperti orang ke pasar, bermaksud hendak
berbelanja, juga masih memilih, tidak mau membeli yang rusak, pasti yang
baik dibelinya, sama halnya dengan memilih tingkah laku.
- Tingkah ne melah pilihin, da
manganggoang tingkah rusak, saluire kaucap rusak, wantah nista ya
ajinnya, buine tong kanggoang anak, kija aba tuara laku, keto cening
sujatinnya. ( bait 16 )
Pilihlah tingkah laku yang baik, jangan mau memakai tingkah laku yang
jahat, betul-betul hina nilainya, ditambah lagi tiada disukai
masyarakat, kemanapun di bawa tak akan laku, begitulah sebenarnya
anakku.
Ssecara spiritual dapatlah disimpulkan : “Jadi yang dikatakan “Putra Betara Indra” oleh
Joyoboyo, “Budak Angon” oleh Prabu
Siliwangi, dan “Satrio Pinandhito
Sinisihan Wahyu” oleh Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak
bukan adalah Sabdo Palon,
yang sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha/ Mpu
Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru.
Pertanyaannya sekarang adalah: Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari
tanda-tanda yang telah terjadi dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang ?
Tentu saja sangat tidak etis untuk menjawab persoalan ini. Sangat sensitif…
Ini adalah wilayah para kasepuhan suci, waskitho, ma’rifat dan mukasyafah
saja yang dapat menjumpai dan membuktikan kebenarannya. Dimensi spiritual
sangatlah pelik dan rumit. Tidak perlu banyak perdebatan, karena Sabdo Palon
yang telah menitis kepada “seseorang” itu yang jelas memiliki karakter 7
(tujuh) satrio seperti yang telah diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito,
dan juga memiliki karakter Putra Betara Indra seperti yang diungkapkan
oleh Joyoboyo. Secara fisik “seseorang” itu ditandai dengan memegang sepasang
pusaka Pengayom Nusantara hasil karya beliau Dang Hyang Nirartha.”
“Kesimpulan akhirnya adalah : Putra Betara Indra =
Budak Angon = Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu
seperti yang telah dikatakan oleh para leluhur Nusantara di atas adalah
sosok yang diharap-harapkan rakyat nusantara selama ini, yaitu beliau yang
dinamakan “SATRIO PININGIT”. Jadi, Satrio
Piningit (SP) = adalah seorang Satrio Pinandhito (SP)
= yaitulah Sabdo Palon (SP) = sebagai Sang Pamomong
(SP) = dikenal juga dengan nama Semar Ponokawan (SP)
= pemegang pusaka Sabdo Palon (SP) = berada di “SP” (?)
= tepatnya di daerah “SP” (?) = dimana terdapat “SP”
(?) = dengan nama “SP” dan “SP”
(?) . Satrio Piningit tidak akan sekedar mengaku-aku bahwa dirinya
adalah seorang Satrio Piningit. Namun beliau akan “membuktikan”
banyak hal yang sangat fenomenal untuk kemaslahatan rakyat negeri ini. Kapan
waktunya ? Hanya Allah SWT yang tahu. Subhanallah… Masya Allah la quwata
illa billah…”
Dari apa yang telah saya ungkapkan sejauh ini mudah-mudahan membawa banyak
manfaat bagi kita semua, terutama hikmah yang tersirat dari wasiat-wasiat
nenek moyang kita, para leluhur Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di
tengah carut-marut keadaan negeri ini akan datang cahaya terang di depan
kita. Semoga Allah ridho.
Suluk
Lintang Kolo Sekti
LAKUNING TARAKBROTO
MITURUT KI LURAH SEMAR BODRONOYO
Sejatine
tarakbroto iku okeh wernane, okeh coro carane kang biso dilakokNe,[1][2] sopo wonge kang biso nglakoni
sekabehing tarakbroto kanti ati kang resik, kanti laku kang satuhu, bakal
biso nemoni kamulyan kang gede sawabe. Rungokno kanti cipto kang hening,
sejatine tarakbroto iku ono limo lakune, kalamunto awakmu biso nglakoni
sekabehing tarakbroto kang kasebut sak mangke, awakmu bakal biso dadi
wongkang sekti mondroguno jayeng bawono, mulyo donyo akhirat, teguh tankeno
pambujuk, bening cipto karso lan rosone.
Tarakbroto
sakmangke, ingkang kaping siji kasebut topo geni alias jamasan, ingkang
kaping pindo matirtobroto alias topo kungkum, ingkang kaping telu topo angin
yoiku dzikir lan wirid daim kanti dalan kayu gung susuhing angin, ingkang
kaping papat kudu betah luwe kang kasebut tarakbroto nyegah dahar lan ngombe
utawi poso, ingkang kaping limo utawi pamungkas kudu betah melek eleng marang
Gusti Kang Akaryo Jagat. Dene jlentrehe utawi lakuning
tarakbroto kemau:
1. Ingkang kaping siji topo geni alias
jamasan: tegese, ora nduweni roso wedi marang geni senajanto geni iku panas,
topo geni dilakoni kanti dalan patrap jamasan, patrapan sakmangke ono pitung
tataran tingkatane. Tataran kaping siji diarani nggugah sedulur papat kelimo
pancer, tataran ingkang kaping loro klawan nglakoni carokowalik, merui
tumurune aksoro HO nganti NGO lan minggahe aksoro NGO nganti HO, tataran
kaping telu diarani ilmu rajah kolo cokro kang sinebut petak asio-sio yoiku
kang dadi pratondo cahyaning Guru pribadi utawi Guru Sejati, tataran ingkang
kaping papat diarani nglungguhke ratu, tataran ingkang kaping limo klawan
nyumurupi ilmu caroko kawedar kang mbabar kesejatiane aksoro HO lan aksoro
NGO, tataran ingkang kaping enem diarani njumenengake guru sejati ing alam
kajaten, tataran ingkang kaping pitu diarani ilmu pangracutan meruhi kesejatianing
Hurip.
2. Ingkang kaping pindo matirtobroto
alias topo kungkum: tegese, kungkum ono sakjeroning banyu, kanti niat ngedusu
sedulur papat kelimo pancer, ngedusi badan wadak lan badan alus, tapi kuduo
dadi pangeleng-ngeleng sejatine topo kungkum iku ono loro wernane yoiku topo
kungkung kang sifat wadak lan topo kungkum kang sifat gaib. Onoto manfagate
topo kungkum iku ono limang perkero, yoiku kanggo anggayuh ilmu kang
piningit, kanggo ngresiki jiwo lan rogo minongko dadi lantarane tobat kang sejati,
kanggo ngelerem howonefsu, kanggo nyumurupi kesejatiane alam gede lan alam
cilik kang gumelar.
3. Ingkang kaping telu topo angin yoiku
dzikir daim lan wirid daim kanti dalan kayu gung susuhing angin: tegese,
kanti niat kang kuat megeng metu lan mlebuning nafas kang disebut olah nafas
ono sakjeruning jejantung kang sifat wadag lan a sifat gaib sarono nafas,
tanafas, angfas, nufus kanti eleng marang Gusti Kang Akaryo Jagad.
4. Ingkang
kaping papat kudu betah luwe kang kasebut tarakbroto utawi poso: tegese, kudu
nglakoni lan merui kesejatiane poso yoiku poso kang sejati, endi kang kasebut
poso lan endi kang kasebut laku ora mangan lan ora ngombe kang dhiarani laku
tarekbroto. Sebab poso lan tarekbroto iku sejatine mirip tapi ora podo. Poso
kang sejati yoiku poso kang wus kawedaraken kalian Kanjeng Bagindo Nabi
Muhammad Saw, eleng-elengen poso kang miturut Kanjeng Nabi iki koyo-koyoto
enteng tapi gede banget sawabe, ora biso disebutke tapi iso dibuktekke
kelawan ilmu pangracutan kang nyoto. Onoto tarekbroto ora mangan lan ora
ngombe iku macem-macem wernane koyoto laku muteh, nglowong, ngrowot, ngidang,
ngebleng, patigeni, lan sakpiturute.
5. Ingkang kaping limo yoiku kang pamungkas
kudu betah melek eleng marang Gusti Kang Akaryo Jagat: tegese, kudu melek
motone kang wujud wadag lan moto kang wujud gaib kanti dalan eleng marang
Gusti Kang Purbo Waseso.
Mengkono
iku wedaring tarakbroto kang wus dilakoni poro gung binanthoro ing tanah Jawi
nalikaning jaman kino nganti sakpriki kanggo sarono nampi kanugrahaning Gusti
Kang Moho Waseso.
LAKUNING SUMARAH DENENG PRABU
JOYOBOYO KANG KAWEDAR ING SAK NGAJENGIPUN GERBANG TINATAR[2][3]
Dhuk
nalikaning jaman semono, jaman sang Begawan Warono rumasuk ing ngalam
suryonyuri, kang wus ginaris marang Gusti Kang Moho Suci, bade merui yo sang
Prabu Joyoboyo, Prabu Kencono sekti yo sang Prabu Baguskeling. Nalikaning
sang Begawan Warono wonten sak ngajengipun gerbang tinatar, raonok sak kedeping
mripat wujud manungso gede prabawane, yo sang Prabu Baguskeling.
Sang Prabu Baguskeling ngendiko mengkene, e
Begawan Warono, opo siro eleng marang ingsun yo ingsun kang minongko ratu
gung binathoro kang ngratoni tanah Jawi jaman kino yo ingsun kang reraton ing
nagari Keling yo ingsun iki kang jejuluk sang Prabu Joyoboyo yo sang Prabu
Baguskeling.
E
Begawan! Tekane ingsung ing kene minongko dadilantaran kanggo medarake opo
iku kang kasebut Sumarah, sumarah iku sikap sifat lan laku, lan sumarah iku
kang minongko dasare lan bumining tarak broto ateges tarakbroto iku biso
sampurno minongko lelambaran ngango laku sumarah, sumarah iku orakor sareh
tapi kudu duweni sikap pasrah, pasrah kang sejati marang Gusti Kang Moho Suci
tegese kudu Ikhlas lan Sabar marang opowae kang diparengke marang siro.[3][4]
Begawan! lamonto
siro iso nindaake laku sumarah kanti sampurno mugo-mugo siro isoo nampi
kanugrahaning Gusti Kang Moho Agung kanugrahan kang gede manfagate, drajat
kang duwur sarto kamulyan dunyo lan akhirat, opo kang di karepke lan kang
Ngarepke dadi klawan ridhaning Gusti
ALLAH.
SEJATINING LAKU, SOPO SING NGLAKOKNE
LAN SOPO SING NGLAKONI, BEGALAN GEDE SAKNALIKANING TARAKBROTO
Sejatine
laku iku yo kudu dilakoni, tapi asale laku iku soko kang nduweni laku, tegese
sing menehi pituduh lan kekuatan tor sing nglakoni iku sejatine yo sing
duweni laku iku, dadine kabeh wau sejatine wes manunggal, lah manungso iku
kor ngakoni wae tapi sejatine sing nglakokke yo ingsun kang sejati.
Begalan
gede kanggone wong kang lagi nandang laku ingkang kaping pisan yoiku ngakoni
nek dewee wus nglakoni, maksute ora duweni adab, yoiku laku kang wes dilakoni
iku kudune dibalekke marang Gusti Kang Moho Akaryo Jagad, tapi lahir batine
ngakoni nek sing nglakoni iku dewee dewe, ingkang kaping pindo yoiku rumongso
nek dewee luweh suci ketimbang makhluk-makhluk liane ateges rumongso paling
apik, rumongso paling bener, ingkang kaping telu yoiku rumongso opo kang
diucapke pribadine mesti mandi tor mustajab kerono lakune padahal mustajabe
mau dudu soko lakune tapi soko sinungge Gusti Kang Moho Akaryo Jagad kang
salah sijine sabab musabape dilewatake soko laku.
TENAGA DALAM MURNI DAN TENAGA DALAM 4
DIMENSI
Tenaga
dalam murni (manusia dengan kemanusiaannya), selalu berhubungan dengan logika
(olah pikir) dan logistic (makanan/stamina), sehingga dengan sering malakukan
latihan tenaga dalam selayaknya diimbangi dengan makan yang cukup untuk
kebutuhan tenaga tubuh karena membangun tenaga dalam pada jasmani (raga)
banyak membutuhkan asupan gizi.
Tenaga
dalam 4 dimensi pengolahannya dengan melakukan melek wengi (kurangi tidur),
banyak puasa (kurangi makan), banyak dzikir dan wiridan, nyepi karena yang
diperkuat adalah daya gaib pada roh manusia, dan ini lebih besar kekuatannya.
Sehingga perlu diingat baik-baik tentang kebutuhan primer atau makanan roh
dan cara memperkuat dan daya-daya yang dimiliki roh.
HASTABRATA
“Suryo, Condro (bulan), Ndaru (lintang alian), Kartiko
(bintang), Angin, Geni, Banyu, Bumi”
Oleh: Bpk. Abu Wiyono
1.
Matahari = memberi tanpa meminta kembali
atau tidak mengharapkan apa-apa. (topo suryo/mandi suryo/njukok doyo suryo).
2.
Bulan = menerangi tidak membakar
(ceria, wajah berseri-seri).
3.
Bintang = memberi petunjuk (mengajarkan
ilmu pada orang, menehi obor marang wong kang kepetengan).
4.
Ndaru (lintang alian) = berani hijrah
(jasmani rohani), mencari persesuaian (lintang aliyan, aliyan lintang).
5.
Udara = luwes, mancolo putro
mancoloputri, mengisi segala ruang dan lini, tau semua komponen masyarakat
(tau orang main tapi tidak ikut main, kenal pencopet tapi tidak ikut nyopet)
.
6.
Air = adil (karena sifat air akan
tetap rata dan kebawah kembali kelaut /sangkan paraning dumadi, ALLAH SWT/)
dan jika air sudah terkonsentrasi pada satu titik semua bisa hancur.
7.
Api = tegas, membakar sesuai dengan
porsinya, tegak dan lurus ke atas.
8.
Bumi = memberikan yang terbaik, selalu
menghasilkan yang baik walaupun diberi hal yang kurang baik.
3
TINGKATAN ILMU
- Kanoman
atau kanuragan= kebal, kuat, Tinatah mandat jinoro menter, di antara kanoman dan kasepuan adalah caroko walik.
- Kasepuan
adalah wejangan yang membuat hidup tenang tentram dan damai, di antara kasepuan dan Guru Sejati adalah caroko kawedar.
- Guru
Sejati adalah mengenal diri secara mendalam, air suci
perwitasari/lailatul qadar, Di antara kasepuan dan Guru Sejati adalah caroko kawedar, kemudian mengenal ALLAH SWT secara benar.
\
K U M
P U L A N A J I
A N K U N
O
Kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari sebuah budaya.
Kenapa? Karena pada jaman dahulu setiap masyarakat telah dibubuhi dengan
sebuah kebudayaan, termasuk ajian. Hal inilah membuat saya ingin memebeberkan
kepada masyarakat tentang ajian tersebut. Semoga ini bermanfaat untuk kita semua.
Amin.....
AJI RAJAH KALACAKRA - Rajah Kalachakra merupakan
senjata ghoib yang bisa untuk membinasakan musuh yang sakti. Rajah inipun
juga bisa untuk pagaran tubuh, pagaran rumah dan lain-lainnya. Biasanya rajah
ini berupa sinar berputar dan terletak didada pemiliknya. Bagi yang sudah bisa
melihat alam ghoib, akan bisa melihat ujud rajah ini.
Rajah Kalachakra merupakan senjata ghoib untuk
membinasakan musuh yang sakti.
Rajah inipun juga untuk pagaran tubuh,
pagaran rumah dan lain-lainnya.
Cara memperoleh Rajah ini secara sempurna adalah sebagai berikut :
a. Puasa Sunnah 40 hari.
b. Selama berpuasa, sehabis sholat fardhu dibaca 5 x, sedang sehabis sholat
hajat dibaca 41 kali.
Gunakan sholat hajat khusus mohon diberi mohon diberi Ilmu Rajah Kalacakra.
c. Selesai berpusa, setiap hari minimal di baca 5 x, akan lebih baik lagi
bila
di baca setiap habis sholat fardhu.
Adapun amalan bacaannya sebagai berikut :
yamaroja-jaromaya
yamarani-niramaya
Yasilapa-palasiya
yamidosa-sadomiya
yadayuda-dayudaya
yasikaya-kayasiya
yasimaha-mahasiya
yamidara-daramiya.
Catatan : Selama berpuasa harus sabar dan suka menolong sesama.
Biasanya rajah ini berupa sinar berputar dan terletak didada pemiliknya. Bagi
yang sudah dapat melihat alam ghoib, akan dpt melihat ujud rajah ini.
AJI BRAJAMUSTI - Dizaman dulu aji Brajamusti adalah aji kebanggan para
pendekar. Kerana aji Brajamusti ini merupakan perisai badan yang ampuh
sekali. Orang yang mempunyai aji brajamusti mempunyai kekuatan badan dan
kekuatan ghaib yang tidak ada tandinggannya. Maka orang yang memiliki tidak
bisa menggunakan aji brajamusti kalau tidak dalam keadaan terpaksa. Sebab
kalau digunakan sembarangan bisa membahayakan lawan. Kegunaan aji brajamusti
selain untuk mengisi kekuatan badan dan tangan, aji barajamusti juga sebagai
aji kekebalan terhadap berbagai macam senjata tajam. Senjata yang ampuh
bagaimanapun kalau terkena aji brajamusti pasti akan tawar, tak bertuah.
Ajian Brajamusti adalah ajian (yang dipercaya) untuk menguatkan badan dan
pukulan (tetapi dalam praktiknya, lebih banyak yang menitikberatkan pada
pukulan). Bahkan, konon kabarnya, dengan ajian ini, maka tangan menjadi
sangat kuat sehingga menimbulkan efek kekebalan terhadap senjata tajam. Suatu
hari (sekitar tahun 2000-an), saya pernah "iseng" pengin tahu
"asal-usul" ajian ini dan mulai cari-cari informasi dari mana-mana.
Akhirnya, dari catatan saya, ada benang merah yang dengan ilmu
"kuthak-kathik-gathuk" bisa saya tarik antara ilmu ajian Brajamusti
dengan sebuah aliran beladiri di India, Vajra Musthi (Donn F. Draeger dalam
bukunya "Asian Fighting Arts" menyinggung tentang beladiri ini).
Ditilik dari kemiripan kosa katanya, maka "brajamusti" dan
"vajra musthi" terdengar mirip. Dan bila ditilik arti dari kata
"vajra musthi" maka bisa dilihat dengan lebih jelas. Vajra adalah
"lidah petir" sedangkan musthi berarti "pukulan". Rasanya
tidak berlebihan bila menghubungkan efek yang ditimbulkan oleh ajian
Brajamusti ini dengan arti kata "vajra musthi", yaitu "pukulan
lidah petir". Bisa jadi, dahulu kala pada ada pendekar dari India yang
main-main ke tanah Nusantara dan mengajarkan ilmu pukulan ini. Lalu dalam
masa perkembangannya, terjadi asimilasi dengan tradisi masyarakat lokal. Dan
ketika masa agama Islam masuk ke Indonesia, pukulan ampuh ini mendapat
"polesan" lagi, atau bahkan ada jenis pukulan semacam ini yang
kemudian diberi label "brajamusti" (sesuai dengan lidah Nusantara).
Bismillahirrohmanirrohim,
Sun matek aji-ajiku Brajamusti,
Terap-terap, awe-awe, kuru-kuru.
Griya gunting drijiku, watu item ing tanganku,
Sun tak antem.
Laa ilaaha ilallah muhammadur rasulullah.
Lelaku untuk memahari ilmu Brajamusti versi ini adalah:
* Puasa biasa 7 hari setiap bulan (penanggalan komariah) hingga satu tahun
(bagusnya puasa pas tengah bulan).
* Selama dalam puasa, setiap selesai melaksanakan shalat fardhu, baca aji
Brajamusti sebanyak 100x.
* Selama dalam puasa, setiap malam lakukan shalat hajat khusus (sebaiknya
selepas tengah malam) dan meminta kepada Allah SWT untuk diberikan aji
Brajamusti, kemudian baca amalan aji Brajamusti sebanyak 100x.
* Selama mengamalkan lelaku, setiap hari membaca “yaa qawiyyu, ya matiin,”
sebanyak 1000x (boleh dicicil 200x sehabis shalat fardhu),
* Setelah selesai puasa, ajian dibaca satu kali dengan menahan nafas lalu
dihembuskan ke lengan.
* Setelah selesai melaksanakan seluruh lelaku tersebut, setiap hari amalan
tersebut harus dibaca 3x setiap selesai melaksanakan shalat fardhu, selama
ajian itu masih ingin dikuasai.
Insya Allah, bila dilaksanakan dengan niat baik dan bersungguh-sungguh,
hasilnya akan ada.
Versi yang saya pahami, mohon maaf tidak bisa saya babar di sini karena
terikat dengan janji pada guru.
AJI BANDUNG BONDOWOSO - Seperti halnya aji Brajamusti, aji Bandung
Bondowoso juga mempunyai khasiat yang luar biasa hebatnya. bagi orang yang
mengamalkan aji Bandung Bodowoso akan mempunyai kekuatan badan yang
mentakjubkan. Barang yang mustahil bisa diangkat dengan kekuatan manusia,
maka dengan aji Bandung Bodowoso barang itu dapat diangkat dengan mudah.
Bahkan lebih dari itu dengan aji ini orang bisa menagkis tanpa cidera semua
senjata tajam. Senjata tajam akan terpental dengan sendirinya bila mengenai
badannya.
Orang yang memiliki ajian ini dengan sempurna bisa memimpin bangsa jin.
Sehingga bisa mengerahkan Bala tentara Jin untuk keperluannya....
Dalam kisah Jawa kuno terdapat cerita tentang seorang ksatria sakti bernama
Bandung Bondowoso yang jatuh hati pada seorang puteri. Karena puteri tersebut
tidak mencintai Bandung Bondowoso, sedang untuk menolak secara
terang-terangan sang puteri merasa takut karena Bandung Bondowoso ini
terkenal sangat sakti, maka untuk mengelabuhi si Bandung Bondowoso sang
puteri membuat persayaratan.
Persyaratan tersebut adalah lamaran Bandung Bondowoso akan diterima apabila
ia sanggup membuat seribu candi dalam waktu satu malam. Candi tersebut harus
sudah selesai sebelum ada ayam jantan berkokok atau sebelum fajar
menyingsing. Dengan kehebatan yang dimilikinya, Bandung Bondowoso hampir
menyelesaikan pekerjaannya karena ia dibantu oleh pasukan bangsa jin yang
sangat patuh kepadanya.
Sang putri semakin ketakutan. Ia tahu secara persis, walau hari masih malam
Bandung Bondowoso sudah menyelesaikan 999 candi. Sang puteri begitu melihat
bahwa Bandung Bondowoso hampir menyelesaikan pekerjaannya sangat panik,
sehingga ia menyuruh para dayangnya untuk menabuh lesung (tempat menumbuk
padi) guna membangunkan ayam, supaya berkokok. Dengan harapan si Bandung
Bondowoso merasa bahwa hari sudah pagi. Sehingga gagal dalam membuatkan
candi.
Mengetahui hal tersebut adalah ulang sang puteri Bandung Bondowoso menjadi
marah. Ia merasa telah ditipu, sehingga ia mengucapkan kutukan, bahwa untuk
melengkapi jumlah candi genap seribu, puterilah yang d sabda hingga berubah
menjadi candi. Lalu jumlah candi menjadi seribu dan oleh orang jawa disebut
candi Sewu. Begitulah cerita tentang kehebatan Bandung Bondowoso yang bisa
mengerahkan bala tentara jin untuk membuat candi. Kisahnya terkenal sebagai
legenda Nyi Lara Jonggrang.
Selain dapat menaklukkan bangsa jin, orang yang memiliki ajian ini, akan
mampu menangkis serangan lawan yang menggunakan senjata. Senjata tersebut
akan terpental dengan sendirinya, tanpa kita bergerak untuk menangkisnya.
Dengan keyakinan penuh kita akan mampu menguasai ilmu ini. Tentu saja asalkan
kita dapat melaksanakan seluruh petunjuk serta lakunya.
Untuk melengkapi artikel ini berikut kami sajikan mantra aji Bandung
Bondowoso :
"Sun matek aji, ajiku Bandung Bondowoso,
Kang mengkoni ratuning wesi,
Kulitku tembaga,
Dagingku wojo,
Ototku kawat,
Balungku wesi,
Bayuku rasa,
Dengkulku paron,
Heh ya aku Bandung Bondowoso,
Ratuning gegaman tan ono,
Tumono ing badanku."
Sedangkan syarat-syarat untuk mendapatkan kekuatan Aji Bandung Bondowoso
adalah sebagai berikut :
-Berpuasa selama 30 hari dengan di mulai pada hari Sabtu Kliwon bulan Selo.
-Ngebleng selama 7 hari 7 malam dengan tidak boleh makan nasi yang dipanasi.
- Selama berpuasa kita harus mengamalkan dan membaca mantranya.
Dan setiap hari berpuasa kita disarankan untuk membaca manteranya sebanyak 3
kali dalam sehari semalam.
Pantangan yang harus ditaati adalah:
- Menjauhi larangan yang dibenci Tuhan
- Tidak menggunakan ajian ini kecuali di saat yang benar-benar genting.
Demikianlah sedikit pemaparan mengenai kegunaan Aji Bandung Bondowoso.
Mudah-mudahan bisa menambah wawasan pembaca yang tercinta seputar ilmu-ilmu
kesaktian peninggalan leluhur di masa lampau, yang kehebatannya tak kalah
dengan senjata-senjata modern.
AJI INTI LEBUR SAKHETI - Inti lebur saketi merupakan ajian pamungkas handalan
beberapa perguruan. Ajian ini bila diamalkan terus menerus dayanya sangat
hebat, bisa digunakan untuk membakar hangus golongan jin yang sakti. Tetapi
bisa juga untuk pengobatan, khususnya orang yang kena santet, teluh, tenung,
sihir dan lainlainnya lagi. Aji ini kerana dayanya yang dahsyat tidak bisa
digunakan sembarangan.
AJI KOMARA GENI - Aji Komara Geni sejenis Gembala Geni yang juga merupakan
aji pamungkas. Komara Geni bisa juga digunakan untuk membakar bangsa jin.
kegunaan aji Komara Geni selain untuk pukulan kontak membakar jin, juga untuk
pagaran badan, pagaran rumah dan pengobatan berbagai penyakit. Yang penting
adalah niat si empunya aji ini.
AJI BADA’ TUBI - Sebenarnya aji Bada' Tubi ini merupakan aji kekebalan yang
tak kalah dengan aji Tameng Waja atau Blabak Pengantolan. Bahkan aji ini
mempunyai kelebihan untuk bertempur. Ilmu kontak Bada' Tubi bisa membikin
lawan kaku seperi patung (terkunci).
AJI JALA SUTRA - Aji Jala Sutra bila diamalkan dengan baik dapat untuk
melumpuhkan lawan dan kesaktiannya. Biasanya musuh yang kena aji Jala Sutra
akan menjadi lemah tak berdaya, semua kesaktian seolaholah punah.
AJI KANCING KONCI - Amalan Kancing Konci ini khusus digunakan untuk mengunci
lawan. lawan yang terkunci gerakannya akan terhenti seketika dan seolah-olah
tubuhnya kaku, sukar digerakkan. amalan Kancing Kunci ini sangat penting
dimilki oleh orang-orang perguruan tenaga dalam, kerana bisa menunjang
keampuhan jurus-jurus kuncian.
AJI GELAP SAYUTA - Orang dulu sering membangga-banggakan aji Gelap Sayuta,
kerana orang yang mengamalkan ajian ini suaranya bisa menggetarkan orang yang
mendengarkan. Untuk pukulan tenaga dalam yang dilamuri ajian ini bisa
mematikan lawan.
AJI QULHU GENI - Qulhu Geni merupakan ajian khusus untuk mengalahkan bangsa
jin setan, Menurut orang dulu bila dibaca 1 kali, maka syetan putus tangan
kirinya, bila dibaca 2 kali putus tangan kanannya, bila dibaca 3 kali putus
kedua kakinya dan bila dibaca 4 kali akan lebur seluruh badannya.
AJI QULHU DERGA BALIK - Kekuatan Qulhu Derga Balik hampir serupa dengan Qulhu
Geni dan Komara Geni. amalan ini bisa digunakan untuk kontak, pagaran tubuh
dan mengobati orang kena tenung, santet,. Bla diserang akan kembali pada
sipenyerang. Sudah barang tentu agar amalan ini bisa lebih mujarab harus
sering di wirid.
AJI MACAN PUTIH - Aji Macan Putih merupakan aji kewibawaan yang sangat
tinggi. Bila aji ini diwatek (di rapal), suaranya bisa membuat lawan gemetar
dan nyali lawan menjadi kecil.
AJI LEMBU SEKILAN - Aji Lembu Sekilan ini sangat terkenal sejak dahulu,
hingga sekarang. Aji ini memang sangat baik untuk keselamatan dalam
pertempuran. Bila diamalkan dengan baik semua serangan lawan baik menggunakan
tangan kosong maupun senjata tajam bahkan senjata api tak akan mengenianya.
AJI TAMENG WAJA - Aji Tameng Waja adalah aji khusus kekebalan. daya
keampuhannya memang hampir dengan aji Lembu Sekilan. barang siapa mengamalkan
aji tameng waja ini dengan baik Insya Allah dalam suatu pertempuran tidak
akan cedera oleh senjata lawan.
AJI TEGUH ALOT PAYUNG ALLOH - Aji Teguh Alot Payung Allah ini adalah
merupakan aji keselamatan dan kekebalan yang sangat ampuh. Dulu aji ini
sangat dirahasiakan, setelah ditimbang-timbang demi perkembangan ilmu didunia
ini maka bisa disebar luaskan.
AJI PANCASONA - Aji Pancasona sangat terkenal sejak zaman dahulu. Dalam
pewayangan aji ini dimiliki oleh Prabu Dasamuka. Siapa memiliki Aji Pancasona
sukar untuk matinya. Kerana bila tertembak misalnya dan kena hingga mati,
maka setelah jatuh ke tanah ia akan hidup lagi dan bekas lukalukanya akan
lenyap. Aji Pancasona memang hampir sama dengan aji Rawarontek. Orang yang
memiliki aji ini matinya hanya bisa bila kepala dan tubuhnya dipisahkan dan
ditaruh di tempat yang sangat jauh, bila mungkin dipendam di dalam sumur yang
dalam.
AJI BENGKELENG - Aji Bengkeleng di zaman dahulu sangat dirahasiakan. Kerana
itu sangat jarang yang memilikinya. Keunggulan aji Bengkeleng sebagai ilmu
kebal adalah kalau orang yang mengamalkan aji tersebut sempurna, bila kena
senjata tajam dan peluru rasanya seperti kena titisan air.
AJI PAYUNG ALLOH - Amalan Payung Allah adalah amalan untuk keselamatan atau
pageran badan. Amalan ini nampaknya memang sederhana, tetapi khasiatnya
sangat luar biasa. Amalan ini sangat penting untuk mereka yang sering
bergelut dengan dunia kekerasan.
AJI WA LAQAD - Amalan Wa Laqad yang diambil dari surat saba' ayat 10 mmpunyai
khasiat yang mengagumkan yaitu Untuk ajian dan Untuk kesaktian yang dapat
membengkokkan besi atau mematahkan baja.
AJI SAIFI ANGIN - atau Sapu Angin adalah suatu kedikdayaan yang dapat
mempercepat seseorang dalam perjalanan. Dengan aji Sapu Angin ini orang dapat
menempuh jarak jauh dalam waktu yang singkat, ibaratnya lebih cepat darai
pesawat terbang. Aji ini pula yang menjadikan orang seperti kijang atau
burung srikatan dalam kecepatan bergerak. Orang yang mempunyai aji sapu angin
dan mengamalkan dengan baik dapat meringankan tubuh sringan-ringannya,
sehingga dapat lari cepat sekali. Dahulu para wali songo selalu menggunakan
aji sapu angin ini, khusunya bila diundang untuk rapat di masjid demak.
AJI SUKET KALANJANA - Aji Suket Kalanjana merupakan aji untuk melihat alam
ghaib, aji ini sangat kuno dan langka. Jarang orang yang memilikinya. aji
Suket Kalanjana ini bila diamalkan dengan baik akan bisa tahu alam ghaib,
seperti tahu ujudnya bangsa jin, setan dan sebagainya hanya saja syarat laku
ilmu ini sangat sukar, kecuali bagi orang-orang yang berbakat.
AJI PANGLIMUNAN - Sangat jarang orang sakti yang memiliki aji Panglimunan.
aji Panglimunan adalah aji untuk menghilang atau untuk menutup suatu benda
agar tidak nampak. aji ini memang cukup berbahaya bila disalah gunakan.
AJI SENGGORO MACAN - Aji Senggoro Macan adalah suatu ilmu kedikdayaan yang
diambil dari nenek moyang dari daya kewibawaan binatang macan. apabila seekor
macan telah mengeluarkan aumnya maka calon mangsanya tidak akan berkutik.
Untuk dapat menguasai ilmu tidak mudah, siapa saja yang mempunyai ilmu ini
akan disegani oleh segenap manusia.
ILMU KARANG - Orang yang memiliki ilmu ini akan ditakuti lawan, sebab bila
sampai terkena tanggannya menyebabkan kematian. apa yang tersentuh oleh
tangan orang yang menguasai Ilmu Karang akan lebur. Di Kalimantan ilmu ini
disebut dengan Pelebur. Persyaratan agar kita bisa memiliki ilmu yang langka
ini tidaklah mudah, sebab ilmu ini yang ditakuti oleh semua mahluk. Untuk mendapatkan
dan memiliki ilmu ini kita harus mampu menaklukkan berbagai cobaan dari diri
kita dan dari bangsa jin.
AJI MEGANANDA - Aji ini adalah suatu ilmu yang dapat menidurkan orang /lawan.
keampuhan ilmu sulit dicari tandingannya dari zaman nenek moyang hingga kini.
AJI KRESNA - Aji Kresna ini untuk menjadikan tubuh seperti raksasa bila
dilihat musuh . Bila tidak dalam keadaan terancam keselamatan dirinya, tidak
bisa aji yang satu ini dikeluarkan. Sebab musuh akan menjadi gila kerana
takut dengan penglihatannya. Dalam pewayangan, yang memiliki aji ini hanyalah
Prabu Dewa Kresna.
AJI PENATASAN - Orang yang menyimpan ilmu penatasan ini akan dapat
melumpuhkan lawan tanpa perlawanan. Sebab penatasan sejenis ilmu yang dapat
melumpuhkan lawan dan mematikan semua ilmu yamng dimilkilawan. orang yang
memilki ilmu ini hanya menggunakan lewat tangan atau mata. Tentunya dengan
menggunakan jurus-jurus dan ilmu-ilmu tersebut dialirkan pada tangan, atau
kaki, mata. Akan tetapi dalam penggunaan ilmu ini tidak bisa sembarangan.
Kalau kita dalam keadaan terdesak barulah ilmu bisa anda keluarkan, sebab
jika tidak dalam keadaan yang membahayakan keselamatan, dan ilmu digunakan
dulu, maka musuh akan lumpuh total. Persyaratan untuk mendapatkan ilmu ini
juga tidak mudah dilaksanakan.
AJI TUGUMANIK JAYAKUSUMA - Kehebatan dan kegunaan ilmu ini hampir menyerupai
ilmu Pancasona, namun ilmu juga berbeda dengan dengan ilmu Pancasona, jika
ilmu Pancasona bisa hidup kembali bila potongan tubuhnya tidak dikubur
melalui sungai. akan tetapi ilmu Tugumanik Jayakusuma tidak akan mati kalau
belum waktunya.(kalau belum tuhan yang mematikan).
AJI PANGUNCEN - Aji Panguncen ini salah satu ilmu yang digunakan para siswa
perguruan tenaga dalam. Sebab dengan ilmu ini musuh bila terkena akan
terhenti gerakannya. Dalam pengerakan ilmu ini kita harus mempunyai tenaga
dalam yang sudah sempurna.
AJI CIUNG WANARA - Dengan aji Ciung Wanara ini anda mampu mengalahkan musuh
yang sangat tinggi ilmunya. Bukan itu saja anda akan ditakuti segenap
binatang, baik binatang yang hidup didarat maupun yang hidup diair. Aji Ciung
Wanara juga dapat menundukkan bangsa jin dan bangsa makhluk ghaib lainnya.
Serta dapat menundukkan ilmu sesat seperti tenung, teluh dan santet.
AJI GEMBALA GENI - Siapa yang memiliki aji Gembala Geni bila digunakan maka
bangsa jin akan terbakar. Disamping itu bisa digunakan untuk membakar orang
yang mempunyai sifat angkara murka. Persyaratan untuk dapat memiliki ilmu
Gembala Geni tidaklah ringan. Berbagai cobaan yang menggoda dada kita harus mampu
kita tundukkan. Bila kita masih bernafsu untuk menyombongkan suatu ilmu
seperti gembala Geni mengakibatkan diri kita terasa terbakar.
AJI KIDANG KUNING - Orang yang memiliki ilmu satu ini dalam berjalan atau
dalam bepergian jauh dengan kecepatan yang luar biasa dan susah diikuti
dengan pandangan mata. Dalam dunia pesilatan ilmu ini disebut ilmu
meringankan tubuh. Dengan secepat kilat kita akan sampai pada tempat yang
dituju.
AJI TINGGENGAN - Aji Tinggengan ini kegunaannya sama dengan aji Panguncen. Bila
orang yang memiliki aji Tinggengan ini dalam menghadapi lawannya dialirkan
lewat tangannya hingga lawan yang terkena sentuhan tangannya tidak akan
bergerak.
AJI WISA KIBLAT PAPAT -racun yang dikeluarkan binatang seperti ular, sangat
membahayakan bagi keselamatan orang yang digigitnya. Tapi bila orang orang
yang digigit ular dan binatang beracun lainnya mempunyai penangkalnya
tidaklah hal yang aneh. Anda bisa menangkal racun tersebut dengan menggunakan
aji Kiblat Papat.
AJI WISA BATHARI DURGA - adalah aji untuk menangkal racun ular belang. Yang
mana racun tersebut sangat ganas. Bila ada orang yang digigit ular tersebut
tidak segera diobati akan membawa pada kematian. Namun selama ini belum ada
obat yang dapat menangkal racun ular tersebut. Sebab racun tersebut menjalar
dengan cepat dalam aliran darah dan langsung menyerang jantung. Dalam
beberapa menit orang tersebut akan mati . Bila anda menguasai aji ini dengan
mudah menyembuhkannya.
AJI WISA SANG KALITAR PUTIH - Orang yang memiliki aji Wisa Kalitar Putih akan
mampu menundukkan bisa racun ular sendok/cobra. Racun ular cobra hampir sama
dengan ular belang. Kekuatan racun ular cobra agak lambat menjalar ke
jantung.
AJI WISA WARIS KANJENG SINUHUN YOGYAKARTA - Warisan ilmu sebenarnya jarang
diturunkan pada anaknya. Namun berhubung banyak masyarakat waktu zaman
kerajaan yang takut dengan racun ular ataupun racun kalajengking, maka ilmu
diajarkan pada masyarakat.
AJI PAMBUNGKEM SAWER (ULAR) - Aji ini untuk melumpuhkan ular dengan cara
membungkam mulutnya agar tidak mengigit kita.
AJI BISA KALAJENGKING - Binatang kalajengking juga mempunyai bisa yang kuat,
apalagi kalajengking yang berwarna biru. Untuk menangkal racun tersebut
gunakan mantra aji wisa kalajengking.
AJI SEMAR NANGIS - adalah ilmu pelet tingkat tinggi. Dalam pelaksanaan puasa
untuk dapat memilki ilmu ini, harus berpuasa selama 4 hari 4 malam, kemudian
dilanjutkan dengan pati geni semalam.
AJI SELASIH IRENG - Ilmu pelet yang sangat tepat bila digunakan pada anak
perempuan yang sombong / orang tuanya tidak menyukai anda.
AJI SEMAR KUNING - Pengasihan Semar Kuning digunakan untuk perempuan yang
memutuskan hubungan cinta. Bila aji ini anda rapal maka perempuan yang anda
tuju akan menangis untuk meminta kembali bersatu. Jika anda tidak melayani
permintaan untuk kembali lagi dengannya bisa mengakibatkan gila.
AJI SILU JANGGAH - Kegunaan ilmu ini untuk guna-guna pada seorang gadis yang
menjadi rebutan. Apabila gadis tersebut sudah takluk apada anda, jangan
dipermainkan cintanya.
AJI WIJAYAKUSUMA - Aji ini sebenarnya milik raja-raja dizaman dahulu.
Sehingga banyak rakyat dijadikan selir. Anda bisa memiliki ilmu ini namun
anda harus mampu membahagiakan para isteri anda.
AJI DEWA MANIK - Aji Dewa Manik ini bila dirapal pada suatu perkumpulan, anda
akan disenangi orang yang berada di perkumpulan tersebut. Dan apabila dirapal
seseorang pada orang yang dikehendaki, maka anda akan dikasihi oleh orang
tersebut.
AJI JARAN GOYANG - Ilmu pelet yang sudah sangat terkenal. Persyaratan untuk
memiliki ilmu ini tidaklah mudah. Sebab ilmu Jarang Goyang sangat ampuh untuk
mengguna-guna seorang gadis atau sebaliknya.
AJI MENJANGAN PUTIH - Kegunaan dari ilmu ini sama dengan pengasihan lainnya.
Ajian-ajian diatas adalah beberapa contoh saja dari begitu banyak ajian yang
diciptakan oleh nenek moyang kita. Dalam perkembangannya, ada ajian yang
memang sudah punah karena tidak diturunkan ke generasi selanjutnya dan masih
banyak juga yang masih exist bahkan telah dimodifikasi sedemikian rupa agar
makin ampuh.
|
ILMU RAJAH KALACAKRA
BATARA KALA
Rajah kalacakra sangat terkenal di kalangan para
pemerhati dunia mistik dan supranatural. Juga banyak versi cara mengamalkan dan
mempraktekkannya. Khodam pemilik Ilmu ini konon adalah Batara Kala yang
berwujud raksasa tinggi sekitar 3 meter dan benar-benar hadir dan masuk ke
tubuh dalang ruwat ketika diadakan upacara Ruwatan. Kehadiran Batara Kala ini
biasanya tidak bisa lama, hanya sekitar 2 sampai 3 menit dan dalam waktu
sesingkat itu membuat para makhluk halus yang biasanya mengikuti tubuh
seseorang yang akan diruwat menjadi takluk dan menyingkir.
Menurut kepercayaan Jawa, rajah kalacakra ini
tergores di dada Batara Kala yang kemudian dapat dibaca oleh Batara Wisnu yang
menyamar sebagai dalang Kandhabuwana. Rajah Kalacakra biasanya dipraktekkan
pada upacara ruwatan dengan cerita Murwakala. Karena hal itu, Batara Kala
kemudian mengikuti kehendak Batara Wisnu.
Untuk memanggil Batara Kala secara fisik juga
tidak sembarangan. Hanya segelintir orang atau dalang ruwat (yang sekarang
jumlahnya bisa dihitung dengan jari) yang sudah ”ditakdirkan” dari sononya bisa
memiliki penunduk Batara Kala dan menghadirkannya saat acara ruwatan. Meskipun
begitu, kita juga bisa memiliki Ilmu ini dengan niat dan upaya batin yang teguh
dan kuat.
Pernah ada pengalaman, seorang yang memiliki Ilmu
ini hanya dengan membuka bajunya dan diiringi membaca mantra penutup maka para
makhluk halus yang kebetulan merasuki puluhan murid sekolah menengah
tersadarkan.
Kekuatan/power ilmu ini juga bisa untuk beragam
fungsi diantaranya untuk pengobatan fisik maupun metafisik, ruwat sengkolo,
pengusiran mahluk halus yang mengganggu sebuah tempat, penolak beragam santet
teluh dan tenung, penakluk dendam iri hati dan kesombongan lainnya dan menjadi
welas asih, pagar goib rumah gedung dan sebuah tempat.
Ada satu versi di antara banyak versi laku
pengamalan Ilmu ini yang merupakan gabungan (akulturasi) Jawa – Islam. Berikut
versi itu:
Puasa 3 hari dan hari terakhir pati geni 1 hari 1 malam, artinya tidak tidur
dan tidak makan minum.
Saat tengah malam puasa lakukan sebagai berikut
Usap dengan tangan kanan:
1. Mata 3 X
2. Kening 5
X
3. Ubun-Ubun 1
X
4. Pulung Ati 1
X
5. Pusar 1
X
6. Jempol Kaki kanan kiri 1
X
Membaca sabda tunggal:
INGSUN TOHJALINING DZAT KANG MAHA SUCI, KANG AMURBA KANG AMISESA KANG
KUWASA ANGANDIKA KUN FAYAKUN DADIYA SAKCIPTANINGSUN ANA SEKDYANINGSUN TEKA SAK
SEKRSANINGSUN, METU SAKKODRATINGSUN.
Membaca niat:
INGSUN NIYAT NGLAKONI RAJAH KALACAKRA LEKSANA MANJING SIGRA, NIYAT
ANGLAKONI AKSARA JAWA WALIKAN
Membaca syahadat:
SOLALLAHUALAIHIWASALLAM, BISMILLAHIRROHMANIRROHIM WASYHADU SYAHADAT
AGUNG DZAT MULYO KAWULO BAKTIKAH PANGERAN
KHASBIYALLAH (3 X) WANIKMAL WAKIL NIKMAL MAULA WANIKMAN NASIR
LAA HAWLA WALA QUWWATA ILLA BILLAHIL ALIYIL ADZIM 7 x
HA NA CA RA KA DA TA SA WA LA PA DHA JA YA NYA MA GA BA TA NGA 1 x
NGA THA BA GA MA NYA YA JA DHA PA LA WA SA TA DA KA RA CA NA HA
60 x
NGA THA BA GA MA NYA YA JA PHA PA LA WA SA TA DA KA RA CA NA HA
4 x di dalam hati dengan lidah ditekuk ke atas
NGA THA BA GA 999 x
MA NYA YA JA 999 x
DHA PA LA WA 999 x
SA TA DA KA 999 x
RA CA NA HA 999 x
===Baca MANTRA KUNCI penutup===
YAMAROJA JAROMAYA
YAMARANI NIRAMAYA
YASILAPA PALASIYA
YAMIRODA RADOMIYA
YAMIDOSA SADOMIYA
YADAYUDA DAYUDANA
YASIYACA CAYASIYA
YASIHAMA MAHASIYA
(mantra kunci ini perlu dihapalkan karena merupakan kunci)
Cara penggunaan:
Selesai puasa 3 hari maka Anda sudah memiliki Ilmu ini. Cara menggunakan,
mantra kunci dibaca 1 x dan tiupkan ke air putih. Untuk pengobatan fisik maupun
metafisik baca mantra tiupkan ke air dan diminum setengah gelas setengahnya
lagi diusapkan ke tubuh orang yang bersangkutan. Untuk ruwat sengkolo
pengusiran mahluk halus yang mengganggu sebuah tempat pagar goib rumah gedung
dan sebuah tempat mantra dibaca dan dibakar menyan jawa ditempat dimaksud.
Untuk penolak beragam santet teluh dan tenung air putih diusapkan ke tubuh.
Untuk penakluk dendam iri hati dan kesombongan lainnya dan menjadi welas asih
mantra cukup dibaca dan diarahkan ke foto orang tersebut. Untuk mengusir ilmu
pesugihan yang dimiliki seseorang, dekati rumahnya baca mantra kunci setelah
itu bersiul. Ulangi langkah yang sama 3 x. Semoga bermanfaat.
AJI INTI LEBUR SAKHETI
Inti lebur saketi merupakan ajian
pamungkas handalan beberapa perguruan. Ajian ini bila diamalkan terus menerus
dayanya sangat hebat, Boleh digunakan untuk membakar hangus golongan jin yang
sakti. Tetapi boleh juga untuk pengobatan, khususnya orang yang kena santet,
teluh, tenung, sihir dan lainlainnya lagi. Aji ini kerana dayanya yang dahsyat
tidak boleh digunakan sembarangan.
Inama amruhu idza arada,
syai-an, kun- fayakun,
fii samumiw wa hamim,
wa tashiyatu jahim,
idza rujatil ardhuraja,
wa bussatil jibalu bassa
fakanat haba ammun batsa,
kun fayakun alaya,
Allahu akbar 3x
puasa 9 hari, mulai dari selasa kliwon, dibaca 999 setelah solat fardu.
untuk mengunakan cukup di baca satu kali saja sambil menahan napas.
AJI
KOMARA GENI
AJI KOMARA GENI
Aji Komara Geni sejenis Gembala Geni yang juga merupaka aji pamungkas. Komara
Geni bisa
juga digunakan untuk membakar bangsa jin. kegunaan aji Komara Geni selain untuk
pukulan
kontak membakar jin, juga untuk pagaran badan, pagaran rumah dan pengobatan
berbagai
penyakit.Yang penting adalah niat si empunya aji ini.
Amalannya sebagai berikut :
“Bismillahirrohmanirrohim,
Allahumma Du;a bali sumpah waliyulloh,
Ana muka badan yaa rosululloh,
Allahumma yaa bali, yaa Bali, yaa bali sakukudung ingsun
Qulhu komara geni tut
up bali,
Balika, balika, balika,
Balikum, balikum, balikum.”
Adapun syarat untuk memperoleh aji tersebut :
a. Puasa sunnah 7 hari setiap sebulan sekali, hingga 7 bulan berturut-turut.
b. Selama puasa selesai sholat fardhu amalan tersebut dibaca 75 kali. dan
jangan lupa
melaksanakan sholat hajat khusus.
AJI PANGLIMUNAN: MENGHILANG
DARI PANDANGAN MATA
Diciptakan untuk dijalani. Diciptakan untuk dicoba dan berhasil.
Inilah prinsip siswa perguruan olah batin. Bagaimanapun juga diciptakannya
banyak ajian oleh para leluhur kita dulu tidak hanya untuk menjadi perbendaharaan
ilmu kesaktian saja. Namun, berbagai ajian itu diciptakan agar
dilakoni/dijalani dan memberikan kemanfaatan.
Pada suatu kurun waktu, adalah sebuah suratan takdir bila seseorang harus
mengalami sebuah kejadian yang tidak diharapkannya. Misalnya, apa yang dialami
oleh nenek atau kakek kita dulu, atau simbahnya kakek atau nenek kita dulu.
Kalau di suruh memilih, mungkin mereka akan memilih hidup di jaman sekarang
yang serba enak dan mudah. Namun, karena takdir akhirnya mereka harus
dilahirkan pada jaman peperangan, jaman sengsara, jaman dimana seleksi alam
berlaku: yang kuat akan menang dan yang lemah akan kalah.
Dalam khasanah perbendaharaan ilmu kesaktian Jawa, kita mengenal Aji
Panglimuman. Pemilik ajian ini benar-bila bisa menghilang dari pandangan mata
sehingga tidak bisa dideteksi keberadaannya. Para pendekar yang memiliki aji
panglimunan dipastikan mereka yang ilmu kesaktiannya sudah sampai tataran
tinggi. Olah rasa/batinnya sudah benar-benar bisa dibuktikan. Sebab ajian ini
sebenarnya untuk njangkepi/melengkapi semua ajian yang sudah ada.
Ajian panglimunan adalah jenis ajian yang tidak digunakan untuk menyerang,
namun untuk menghindar dari serangan fisik dan metafisik. Maka sifat Aji
panglimunan ini adalah untuk bertahan dan menjauh tanpa diketahui oleh pihak
lawan. Meskipun begitu, Aji Panglimunan juga bisa digunakan untuk memasuki
wilayah-wilayah musuh untuk mencuri informasi penyerangan. Maka ajian ini cocok
untuk para telik sandi namun tidak boleh digunakan untuk mencuri. Sebab, bila
digunakan untuk mencuri untuk kepentingan pribadi, maka si pemiliknya akan
mendapatkan celaka.
Untuk mendapatkan ajian langka ini, para murid paguron harus melaksanakan
laku sebgai berikut: Puasa ngebleng 7 hari 7 malam, dimulai pada hari Selasa
Kliwon. Mantra ajian ini sebagai berikut:
“Sir ora katon, sirep berkat saking nabi Muhammad la illaha
illallahu yahu anta anta hem, iyo iyo hum nasrum hu allah”
Setelah usai menjalani laku, pagi harinya saat matahari terbit para murid
ini merapalkan mantra aji panglimunan dan membuktikan apakah mereka sudah bisa
menghilang dengan cara melihat bayangannya sendiri. Tanda-tanda ajian ini sudah
bekerja dengan baik adalah bila tubuhnya sudah tidak ada bayangannya lagi. Ini
artinya mata manusia biasa sudah tidak bisa melihat dirinya lagi.
Namun, bila belum berhasil menghilangkan tubuh, itu berarti dia masih belum
menguasai aji panglimunan dan harus kembali menjalani laku puasa ngebleng dari
awal.
Bila sudah berhasil menguasai ajian hebat ini termasuk juga ajian lin, oleh
para leluhur kita disarankan untuk menggunakannya dengan bijaksana yang
disertai dengan sikap rendah hati dan mampu menguasai emosi sebaik-baiknya.
Bhirawa Anoraga: Perkasa tapi rendah hati. Sebab sebaik-baik manusia adalah
manusia yang berbudi luhur dengan memeri kemanfaatan pada sesama,
mengayomi/melindungi mereka yang lemah dan tidak menebar permusuhan. Kebaikan
pasti akan mengalahkan kejahatan. “Suradira jayadiningrat, lebur dening
pangastuti.”
Orang yang menyimpan
Aji penatasan ini akan dapat
melumpuhkan lawan tanpa perlawanan. Sebab penatasan sejenis ilmu yang dapat
melumpuhkan lawan dan mematikan semua ilmu yamng dimilkilawan.
orang yang memilki ilmu ini hanya menggunakan lewat tangan atau mata. Tentunya
dengan
menggunakan jurus-jurus dan ilmu-ilmu tersebut dialirkan pada tangan, atau
kaki, mata.
Akan tetapi dalam penggunaan ilmu ini tidak boleh sembarangan. Kalau kita dalam
keadaan terjepit barulah ilmu bisa anda keluarkan, sebab jika tidak dalam
keadaan yang membahayakan keselamatan, dan ilmu digunakan duluan, maka musuh
akan lumpuh total.
Persyaratan untuk mendapatkan ilmu ini juga tidak mudah dilaksanakan. Bila anda
ingin belajar serius
inilah persyaratnnya :
a. Puasa mutih 7 hari 7 malam selama 7 purnama, dengan dimulai hari jum?at legi
sampai jum?at pon.
b. Pati geni selama 3 malam berturut-turut. Dalam pelaksanannya kita dilarang
buang air kecil/besar.
c. Ngebleng selama sehari semalam, dalam pelaksanaanya harus tetap membaca
mantranya.
Amalan yang harus dibaca dan diamalkan sesudah puasa selama 41 hari, sebagai
berikut :
"BIsmillahirrohmanirrohiim, Sarining urip sarining tunggal, Sujud kang
Agung, Sukma mulya zat sampurno, Tisning kawulaning zat, Lebur kumala zat,
Ilang ragane, Dening Alloh kang natasi
.
Orang yang memiliki ilmu satu ini
dalam berjalan atau dalam bepergian jauh dengan kecepatan yang luar biasa dan
susah diikuti dengan pandangan mata. Dalam dunia pesilatan ilmu ini disebut
ilmu meringankan tubuh. Dengan secepat kilat kita akan sampai pada tempat yang
dituju.
Syarat-syarat untuk dapat memiliki ilmu ini :
a. Puasa ngidang selama 40 hari.
b. Puasa mutih selama 21 hari.
c. Ngebleng selama 2 hari 2 malam.
Inilah rapalan yang harus dibaca :
“Ajiku si kidang kuning, Maya enggal-enggal tumeka, Tapak mimang abot kenur,
Sakedhap netro tumeko, Koyo dening kilat lumakuku, Barang katrjang pada
sumilak, Saking kersaning Gusti Alloh.”
Setelah selesai puasa mantra diatas harus dibaca selama 3 kali dalam sehari.
Bacaan ini dibaca selama 2 purnama, dan bila sedang berjalan dengan teman-teman
harap anda berjalan duluan.
AJI SIUNG WANARA
AJI SIUNG WANARA
Dengan aji Ciung Wanara ini anda mampu mengalahkan musuh yang sangat tinggi
ilmunya.
Bukan itu saja anda akan ditakuti segenap binatang, baik binatang yang hidup
didarat maupun
yang hidup diair.
Aji Ciung Wanara juga dapat menundukkan bangsa jin dan bangsa makhluk ghaib
lainnya.
Serta dapat menundukkan ilmu sesat seperti tenung , teluh dan santet.
Adapun persyaratannya sebagai berikut :
a. Puasa mutih selama 4 purnama dimulai dengan mandi bersih. Bulan yang tepat
untuk
memulai puasa bulan suro (muharam).
b. Dilanjutkan dengan puasa ngidang selama satu bulan.
c. Pati geni selama 3 malam, dan dilanjutkan dengan ngebleng sehari semalam.
Pantangan yang harus dijauhi :
- Tidak boleh melawan orang tua.
- Tidak boleh memakan binatang yang hidupnya didarat.
- Dan menjauhi larang Tuhan.
Inilah rapalan yang harus dibaca :
“Gebyar sapisan,
Sakehing cahya pada sirna,
Gebyar pindho,Sakehing roh pada sirna,
Sakehing roh pada sirep,
Rep sirep sajagade,
Kepyar kepyar sakabehing sato,
Janmo manungsa pada buyar,
Jin, syetan, peri, prayangan pada mencar
AJIAN SIREP MEGANANDA
Ajian Sirep Megananda merupakan ajian yang berfungsi untuk membuat kewaspadaan
lawan menjadi lemah. Karena ajian ini akan membuat lawan terlelap dalam ketidak
sadaran, sehingga anda dengan begitu mudanya dapat melumpuhkan lawan tersebut.
Konotasi negatif yang melekat pada ajian ini, disebabkan fungsinya yang membuat
orang / lawan tersirep tak sadarkan diri dan melepaskan sikap waspadanya,
sehingga banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam
penggunaannya.
Dalam dunia olah kanuragan, ilmu ajian Sirep Megananda dapat dikatakan perlu
untuk dimiliki. Sebab dengan berbekal ajian tersebut, kita tidak perlu bersusah
payah mengadu kekuatan otot dengan lawan kita.
Untuk dapat menguasai ajian ini dengan sempurna, dibutuhkan latihan dan lelaku
yang cukup berat. Akan tetapi kita-pun dapat memperolehnya melalui metode yang
sepraktis mungkin.
PERSYARATAN :
1. Lelaku suci dari najis berat dan kecil, baik secara lahir maupun bathin.
Terutama selama lelaku tirakat puasa selama 3 hari (pilih = Selasa Kliwon).
2. Bila dalam keadaan terkena najis, atau batal sesuci hendaknya mengambil air
wudlu kembali. Begitu seterusnya.
3. Mengerjakan lelaku puasa mutih minimal selama 3 hari dengan memilih jumlah
neptu hari yang jumlahnya 40. Karena hal itu sama saja anda telah mengerjakan
lelaku selama 40 hari (Menurut Kanjeng Sunan Kali Jaga).
4. Ketika lelaku puasa tersebut upayakan tidak berkata-kata yang mubasir,
berbohong, mengumpat, terlebih lagi memfitnah.
5. Setiap selesai sholat wajib hendaknya mewiridkan amalan do'a ajian sebanyak
7x ulangan tanpa bernafas dalam setiap satu kali bacaan.
6. Pada malam harinya, upayakan untuk mengerjakan 2 rokaat sholat hajat dan
membaca amalan do's sebanyak jumlah neptu hari elahiran anda (weton), yang
kemudian disusul dengan berdo'a kepada Raja Alam Semesta dan bersemedi (=
membisu) hingga anda terlelap tidur dalam kondisi duduk bersila.
5. Pada lelaku hari ketiga (Terakhir), hendaknya tidak tidur semalaman hingga
terbit fajar di hari berikutnya (= selesai lelaku).
DO'A YANG DIBACA :
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIIM ...
NIAT INGSUN MATEK AJI ..
AJIKU MEGANANDA ...
NJOGETI MEREM JUMEGOR ...
TANPO TANGI TURUNE SI JOO SIBLUNG ...
AJA TANGI YEN DURUNG ANA GENI SAKA LANGIT PITU ...
LAA ILAAHA ILLALLAH MUHAMMAD RASULULLAH ....
AJIAN TAMENG WAJA
Ini ajian dahsyat untuk kekuatan badan dan kekebalan. Tubuh kita
akan dilapisi oleh tameng besi baja yang begitu hebat. Saya (wongalus)
pada suatu kesempatan tanpa dinyana dan diduga sebelumnya malah
mendapatkan khodam ajian ini tanpa laku sebelumnya… ya.. Tuhan Maha Pemberi!
Orang yang menguasai ajian ini tidak akan mempan diserang senjata tajam atau
bahkan senjata api sekalipun. Untuk menguasai ajian piandel para pendekar ini
tidaklah mudah, sebab diperlukan laku yang sangat berat yaitu sebagai berikut:
Pada awal bulan Muharrom (2 Suro) mulai menjalani puasa 40 hari tanpa putus,
puasa ini dilakukan sebanyak 3x bulan Muharrom atau 3 tahun berturut-turut.
Selama menjalani puasa, setiap tengah malam habis sholat tahajjud membaca
mantra rapalan Ajian tameng waja sebanyak 21x kali pada seember air yang
selanjutnya digunakan untuk mandi keramas. Selama menjalani puasa, setiap habis
sholat fardhlu (Isya’) dilanjutkan dengan Sholat Sunat dan membaca istighfar
sebanyak 1000 x agar jiwa benar-benar bersih dari niat jahat. Berikut rapalan
Ajian Tameng Waja:
Bismillahirrohmanirrohiim, Niat Ingsun amatek Aji Tameng Waja
Klambiku Wesi Kuning, Sekilan Segemblok Kandhele Ototku Kawat Balungku Wesi
Kulitku Tembaga, Dagingku Waja Kep-Karekep Barukut, Kinemulan Waja inten
Mekangkang Sacengkal, Sakilan, Sadempu Sakehing braja datan nedasi Mimis bedhil
nglumpruk kadi kapuk Tan tumowo ing badanku Saka kersaning Allah,… Ya Qowiyyu,
Ya Matiin (3x).
Ini jenis ajian pelet pengasihan yang terkenal
dan banyak dipergunakan paranormal untuk membantu kliennya. Cara mengamalkannya
puasa mutih 7 hari 7 malam dan patigeni sehari semalam. Mulai puasa pada Jumat
pahing. Bila akan menjalankan ajian maka caranya yaitu sebelum tidur mantra
dibaca sambil membayangkan wajah orang yang akan dipelet sambil melihat fotonya
dan akan lebih cepat bereaksi bila memegang barang/benda-benda pribadi yang
akan dipelet.
Mantranya sebagai berikut:
“INGSUN AMATEK AJIKU SI JARAN GOYANG, TETENGER
TENGAHING PASAR, GEGAMANE CEMETHI SODO LANANG SAKING SWARGO, SUN SABETAKE
GUNUNG JUGRUG, SEGORO ASAT BUMI BENGKAH, SUN SABETAKE ATINE SI JABANG BAYI …….
(NAMA ORANG YANG DIPELET) TEKO WELAS TEKO ASIH ANDELENG BADHAN SLIRAKU, MANUT
MITURUT SAKAREPE SI JABANG BAYI …. (NAMA KLIEN YANG AKAN DIBANTU PARANORMAL)
SOKO KERSANING ALLAH”
Aji
Kresna ini untuk menjadikan tubuh seperti
raksasa bila dilihat musuh .
Bila tidak dalam keadaan terancam keselamatan dirinya, tidak boleh aji yang
satu ini dikeluarkan. Sebab musuh akan menjadi gila karena takut dengan
penglihatannya. Dalam pewayangan, yang memiliki aji ini hanyalah Prabu Dewa
Kresna.
Persyaratan untuk memperoleh aji tersebut adalah :
a. Puasa mutih 7 hari dimulai hari senen sebelumnya mandi kramas
b. Pati geni semalam dalam pelaksanaannya tidak boleh buang air kecil / besar
c. Ngebleng sehari semalam (Sebut asma Allah terus menerus)
d. Setelah selesai dengan menjalankan puasa tersebut diatas dianjurkan membaca
mantra setiap hari selama 40 hari.
Bacaan yang diamalkan adalah sebagai berikut :
"Bismillahirrohmanirrohiim, Sahadat kurungan emas, Melesat ilang rana tan
kena ing rusak, Sukma sejati mulih marang sukma sejati, Sahadat alam mekar,
Mekar saka kersaningsun, Di ijabahi dening Allohu."
Untuk lelakunya sebagai berikut :
a. Puasa sunnah tujuh senin tujuh kamis, kemudian dilanjutkan puasa sunnah 4
hari . hari terakhir puasa tidak boleh tidur sehari semalam dan harus dalam
keadaan suci dari hadastkecil dan hadast besar bila buang air besar atau kecil
harus segera bersuci dan berwudlu,demikian pula bila makan dan minum.
b. Selama puasa setiap tengah malam mengerjakan sholat hajat khusus dan membaca
rapal ajiTeguh Alot Payung Alloh 75 kali." yaa qowiyyu yaa matiin"
dibaca 10.000 kali.
c. Sedang sehabis sholat fardhu rapal aji teguh alot payung Alloh cukup dibaca
21 kali.
d. Sesudah selesai puasa amalan terseut dibawah ini sehabis sholat fardhu
dibaca 3 kali.
e. Puasa tersebut diatas kalau bisa setiap tahun dilakukan.
f. Pantangan terbesar adalh berzinah dan minum-minuman keras. ingat ilmu jangan
disalah gunakan kalau ingin tetap selamat, jangan untuk ugal-ugalan dan
sombong.
Adapun bacaan aji Teguh Alot Payung Allah adalah sebagai berkut :
"Shalallahu 'alaihi wassalam,Ingsun amatek ajiku teguh alot,Aji keslametan
pinayungan Allah,Tiba saka nduwur eneteng kadiya kapuk,Dicakot
atos-alot,Diobong anyep, ora kobong,Di racun tawar,Dipukul mental,Dibacok
lakak-lakak,Dibedil mecicil datan ngenani,Sakabehing gaman lan jaya kawijayan
mungsuh datan ngeneki,Atos, ulet sakabehing daging kulitku,Atos, wangkot otot
balungku,Sakabehing baya datan tumama krana Allah, yaa qowiyyu ya matiin 3
kali."
Aji Teguh Alot Payung Allah ini
adalah merupakan aji keselamatan dan kekebalan yang sangat ampuh.
Untuk mendapatkan ilmu ini caranya:
- Puasa mutih selama 7 hari 7 malam dimualai pada hari senin.
- Puasa sunnah senin dan kamis selama 7 senin 7 kamis.
- Pati geni selama 3 malam, dan dilanjutkan dengan ngebleng 2 hari 2 malam.
Pada saat ngebleng sambil membaca dalam hati mantranya:
“Salallohu ‘alaihi wassalam,Sesakat putih dewa manik,Sabdo Alloh jatiku,
Rasululloh sun aku awake Gusti ali,Ajiku si dewa manik,Sukma waktra dhadhaku
tengen,
Sira welas asih, Sira ndeleng sira kedhep,Sira ndulu badan saliraku,
Osikipun panembahan Kyai Gertabahu,Sing sinten pratapan guwa Deresan,
Anngenipun maringi nuju dinten jum;ah,Tumuju marang si ……….. (sebut namanya)
Welas asih marang awakku.”
ILMU KARANG
ILMU KARANG
Orang yang memiliki ilmu ini akan ditakuti lawan, sebab bila sampai terkena
tanggannyamenyebabkan kematian. apa yang tersentuh oleh tangan orang yang
menguasai
Ilmu Karang akan lebur. Di Kalimantan ilmu ini disebut dengan Pelebur. Persyaratan
agar kita
bisa memiliki ilmu yang langka ini tidaklah mudah, sebab ilmu ini yang ditakuti
oleh semua
mahluk.
Untuk mendapatkan dan memiliki ilmu ini kita harus mampu menaklukkan berbagai
cobaan
dari diri kita dan dari bangsa jin.
Persyaratan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
a. Puasa mutih selama 40 hari.
b. Dilanjutkan puasa sunnah selama 75 hari.
c. Pati geni selama 5 malam.
d. Ngluweng dengan memakai kain putih selama 7 hari.
Selama ngluweng ini kita sambil mengamalakan rapalan ini :
“Bismillahirrohmanirrohim,
Sang panggah maya langgeng jati,.
ya hu ya hu ya Alloh,
La ilaha ilalloh,
Muhammdur rasululloh,
Ana purba langgeng jati,
Sang ngakendhuri rasan hu Allaoh,
Lebur dening Alloh.”
pantangannya :
- Mempamerkan Ilmu Karang.
- Memukul anaknya pada kepala.
- menjauhi larang Alloh.
AJI SILU JANGGAH – Kegunaan ilmu ini untuk
guna-guna pada
seorang gadis yang menjadi rebutan. Apabila gadis tersebut
sudah takluk apada anda, jangan dipermainkan cintanya.
Persayaratan untuk menguasai ilmu ini adalah
sebagai berikut :
a. Puasa mutih 7 hari 7 malam.
b. Pati geni 1 malam.
Dan ini rapalan yang harus dibaca:
Sun matek aji, ajiku silu janggah, Lung
janggah noleha,
Tolehana kawulaningsun, Dak tepungake karo idepku, Dak
tepungake pucuke alisku, Dak tepungake pucuke rambutku,
Rohmu rohku, Nyawamu nyawaku, Badanmu badanku, Preg
mati durung mati, Sida edan durung edan, Sida nglamong,
Ora waras jabang bayine si ???.. (sebut namanya) Ndulu
marang aku.
ILMU PELET PENGASIHAN
(AJIAN WIJAYA KUSUMA)
Ilmu pelet pengasihan warisan para leluhur Jawa ini sangat
kuat dan meyakinkan. Nama ilmu pelet ini adalah Ajian Wijaya Kusuma. Berikut
amalannya:
Puasa Mutih 7 hari – 7 malam
Tapa pati Geni selama 2 malam
Tapa Ngebleng selama 2 hari – 2 malam
Rapalan Ajian Wijaya Kusumo (dibaca 3x sambil menahan nafas) dan langsung lihat
mata dan beradu pandangan mata dengan perempuan/laki-laki yang diinginkan.
Rapalnya yang diucapkan di dalam sebagai berikut:
Bismillahirrohmanirrohiim,
Shalalahu ‘alaihi Wassalam,
Ajiku Aji Wijaya Kusuma
Sajodho manggon Ing mripat
Mripat Kiwo lan Mripat Tengen
Soko kersaning Allah
ILMU AJIAN SAIFI ANGIN LAUT
Saipi Angin ini merupakan ilmu sakti yang pada zaman dahulu
sangat terkenal Aji dikalangan para pendekar. Karena, dengan memiliki ilmu ini
maka Anda akan mempunyai tubuh yang ringan bagaikan kapas, sehingga Anda akan
mampu berjalan bagaikan secepat angin. Dengan demikian, Anda akan dapat
menempuh perjalanan yang sangat jauh hanya dengan memakan waktu beberapa menit
saja. Itulah sebabnya mengapa para pendekar dan petualang zaman dahulu ingin
sekali memiliki ilmu ini. Cara mengamalkan ilmu Aji Saipi Angin ini cukuplah
sulit. Anda harus menjalani puasa selama 40 hari, dimulai pada hari Sabtu
Kliwon.
Ketika menjalani puasa, pada waktu sahur dan berbuka puasa
hanya boleh memakan dedaunan mentah dan minumnya air yang masih mentah. Selama
menjalani puasa, setiap Anda selesai mengerjakan sholat fardhu amalannya dibaca
sebanyak 7 kali dan pada malam harinya setelah Anda selesai mengerjakan sholat
sunnah Hajad amalannya dibaca sebanyak 100 kali. Setelah semua puasa tersebut
berhasil diselesaikan dan Anda berniat ingin menggunakan ilmu Aji Saipi Angin
tersebut. Anda cukup membaca amalannya sebanyak 3 kali saja, terutama disaat
sedang akan berangkat bepergian jauh.
Amalannya adalah :
“Bismillaahirrahmaanirrahiim. Ingsun Amatak Ajiku Si Saipi Angin, Lakuku
Ingiring Barat Lesus Angin Poncoworo Bayu Bojro Sindung Riwut, Sakabehing
Kekayon Kang Katrajang Podho Sol Rubuh, Sakedhep Netro Lakuku Wus Kemput Ing
Jagad Wetan, Kulon, Kidul, Lor, Iyo Aku Bayumu Si Kapi Putih Titise Roh Ilapi
Kang Nglimputi Jagad Kabeh, Saking Kersaning Allah.”
ILMU PANGRACUTAN (ILMU
KESEMPURNAAN WARISAN KANJENG SUNAN KALIJAGA)
“BADANINGSUN
JASMANI WUS SUCI, INGSUN GAWA MARANG KAHANAN JATI TANPO JALARAN PATI, BISO
MULYO SAMPURNA WALUYA URIP SALAWASE, ANA ING ALAM DONYA INGSUN URIP TUMEKANE
‘ALAM KAHANAN JATI INGSUN URIP, SAKA KODRAT IRADATINGSUN, DADI SAKCIPTANINGSUN,
ANA SASEDYANINGSUN, TEKA SAKARSANINGSUN.”
“Badan jasmani ku telah suci, kubawa dalam
kehidupan sejati yang tidak diakibatkan kematian, dapat sempurna abadi
selamanya, di dunia aku hidup, sampai di alam sejati aku juga hidup, dari
kodrat iradat KU, terjadilah apa yang KU pikirkan, apa yang KU inginkan ada dan
datang apa yang KU kehendaki” (Kanjeng Sunan Kalijaga)
Itulah mantra Ilmu Pangracutan yang terkenal
sejak dipergunakan oleh Sunan Kalijogo dan Syekh Siti Jenar. Dua pendekar wali
tanah Jawa ini terkenal karena kemampuannya untuk meracut seketika dan
tiba-tiba. Meracut artinya melepaskan nyawa dari tubuh.
Menurut Sunan Kalijogo yang mendapatkan inti sari
ilmu dari Sunan Ampel —-sebagaimana manuskrip huruf Jawa Serat Kekiyasaning
Pangracutan Serat Kekiyasaning karya Sultan Agung Raja Mataram (1613-1645) yang
ditulis kembali pada tahun shaka 1857 / 1935 masehi oleh R. Ng. Rongowarsito
—-untuk menguasai ILMU PANGRACUTAN seseorang perlu memiliki dasar kemampuan
spiritual yang mapan dan mumpuni. Kemampuan spiritual itu adalah mukjizat
seperti yang di alami para Nabi, atau datangnya karomah seperti para Wali, atau
datangnya Ma’unah seperti para mukmin khos.
Caranya adalah menjalani apa yang disebut LAKU LAMPAH 1000. Detail lakunya
sebagai berikut:
1. Menahan hawa nafsu, 1000
HARI (siang dan malam)
2. Menahan Syahwat (Seks), 100 hari (siang dan malam)
3. Tidak berbicara, topo bisu 40 hari (siang dan malam)
4. Puasa padam api (pati geni) 7 hari 7 malam
5. Melek, lamanya 3 hari 3 malam
6. Pati raga/Raga Sukma, tidak bergerak-gerak lamanya sehari semalam
Keterangan sebagai
berikut: Menahan hawa nafsu, bila telah mendapat 900 hari, lalu
diteruskan dengan Menahan syahwat selama 40 hari lalu dirangkap juga dengan
Membisu tanpa berpuasa selama 40 hari. Adapun membisu bila sampai pada 33 hari
dilanjutkan dengan, Pati geni selama 7 hari tujuh malam, setelah mendapat 4
hari 4 malam dilanjutkan dengan Jaga selama 3 hari tiga malam, bila sudah
mendapatkan 2 hari 2 malam dilanjutkan dengan Pati raga/Raga Sukma sehari
semalam.
Pakar ilmu kebatinan menamakan pati raga dengan
kemampuan Meraga Sukma yang sangat bermanfaat karena bisa: 1. Mendekatkan yang
jauh, 2. Apa yang dipikirkan akan terjadi 3. Mendatangkan apa yang dikehendaki,
4. Sangat bermanfaat bila digunakan di jalan yang benar termasuk bila telah
sampai pada sakaratul maut. 5. Sarana melatih kenyataan, supaya dapat
mengetahui pisah dan kumpulnya Kawula dan Gusti.
@Waspada: Saat latihan harus serius dan dipandu
oleh yang sudah menguasai karena kita akan melewati alam kematian. Bila lengah
akan mengakibatkan kematian permanen.
Adapun cara Pati Raga/Raga Sukma sebagai berikut:
1. Tangan Sedekap dengan kaki lurus berdempet,
menutup kesemua lubang, jari-jari kedua belah tangan saling bersilang, ibu jari
bertemu keduanya, lalu ditumpangkan di dada. Dalam sikap tidur itu kedua belah
kaki diluruskan, ibu jari kaki saling bertemu, kelamin diamankan agar tidak
terhimpit paha.
2. Pandangan memandang lurus dari ujung hidung
lurus ke dada hingga tampak lurus melalui pusar hingga memandang ujung jari.
Setelah semuanya dapat terlihat lurus maka memulai menarik nafas tadi. Dari
kiri tariklah kekanan dan dari arah kanan tariklah kekiri. Kumpulnya menjadi
satu berada di pusar beberapa saat lamanya, maka tariklah keatas pelan-pelan
jangan tergesa-gesa. Kumpulkan nafas, tanafas, anafas, nufus gaib lalu pejamkan
mata dengan perlahan-lahan, mengatubkan bibir dengan rapat, gigi dengan gigi
bertemu. Pada saat itulah heningkan cipta, menyerah dengan segenap perasaan
yang telah menyatu, pasrah kepada diri sejati kita pribadi.
Setelah itu, baca dengan kesadaran batin dibawah
ini:
MANTRA1
INGSUN
DZATING GUSTI KANG ASIFAT ESA, ANGLIMPUTI ING KAWULANINGSUN, TUNGGAL DADI
SAKAHANAN, SAMPURNA SAKA ING KUDRATINGSUN.
===Aku
mengumpulkan Kawula Gusti yang bersifat Esa, meliputi dalam kawulaku, satu
dalam satu keadaan dari kodrat-Ku=.
MANTRA
2
INGSUN DZAT KANG AMAHA SUCI KANG SIFAT LANGGENG, KANG AMURBA AMISESA KANG
KAWASA, KANG SAMPURNA NILMALA WALUYA ING JATININGSUN KALAWAN KUDRATINGSUN.
===Aku
sebenarnya Dzat Yang Maha Suci, bersifat kekal, menguasai segala sesuatu,
sempurna tanpa cacat, kembali pada hakekat-Ku, karena kodrat-Ku.
MANTRA
3
INGSUN DZAT KANG MAHA LUHUR KANG JUMENENG RATU AGUNG, KANG AMURBA AMISESA KANG
KAWASA, ANDADEKAKE ING KARATONINGSUN KANGA GUNG KANG AMAHA MULYA. INGSUN WENGKU
SAMPURNA SAKAPRABONINGSUN, SANGKEP, SAISEN-ISENING KARATONINGSUN, PEPAK
SABALANINGSUN, KABEH ORA ANA KANG KEKURANGAN, BYAR GUMELAR DADI SACIPTANINGSUN
KABEH SAKA ING KUDRATINGSUN.
===Aku
Dzat yang Maha Luhur, yang menjadi Raja Agung. Yang menguasai segala sesuatu,
yang kuasa menjadikan istana-Ku, yang Agung Maha Mulia, Ku Kuasai dengan
sempurna dari kebesaran-Ku, lengkap dengan segala isinya Keraton-Ku, lengkap
dengan bala tentara-Ku, tidak ada kekurangan, terbentang jadilah semua
ciptaanKu, ada segala yang Ku-inginkan, karena kodrat-Ku.
MANTRA
4
JISIMINGSUN KANG KARI ANA ING ALAM DUNYA, YEN WIS ANA JAMAN KARAMAT KANG AMAHA
MULYA, WULU KULIT DAGING GETIH BALUNG SUNGSUM SAPANUNGGALANE KABEH, ASALE SAKA
ING CAHYA MULIHA MARING CAHYA, SAMPURNA BALI INGSUN MANEH, SAKA ING
KODRATINGSUN.
===Aku
meracut jisim-Ku yang masih tertinggal di alam dunia, bila telah tiba di zaman
keramatullah yang Maha Mulia, bulu, kulit, kuku, darah, daging, tulang, sungsum
keseluruhannya, yang berasal dari cahaya, yang berasal dari bumi, api, angin,
bayu kalau sudah kembali kepada anasir-Ku sendiri-sendiri, lalu aku racut
menjadi satu dengan sempurna kembali kepada-Ku, karena kodrat-Ku.
MANTRA
5
AKU MENARIK ANAK-KU YANG SUDAH PULANG KERAHMATULLAH, KAKI, NINI, AYAH, IBU,
ANAK DAN ISTERI, SEMUA DARAH-KU YANG MEMANG SALAH TEMPATNYA, SEMUANYA AKU TARIK
MENJADI SATU DENGAN KEADAAN-KU, MULIA SEMPURNA KARENA KODRAT-KU. AKU MENGUKUT
KEADAAN DUNIA, AKU JADIKAN SATU DENGAN KEADAANKU, KARENA KODRAT-KU. KETURUNANKU
YANG MASIH TERTINGGAL DI ALAM DUNIA, SEMUANYA SEMOGA MENDAPATKAN KEBAHAGIAAN,
KAYA DAN TERHORMAT, JANGAN SAMPAI ADA YANG KEKURANGAN, DARI KODRAT-KU.
MANTRA
6
AKU MENGAMALKAN AJI PENGASIH, KEPADA SEMUA MAHKLUK-KU, BESAR, KECIL, TUA, MUDA,
LAKI-LAKI, PEREMPUAN, YANG MENDENGAR DAN MELIHAT SEMOGA WELAS ASIH PADAKU,
KARENA KODRAT-KU.
MANTRA
7
AKU MENERAPKAN DAYA KESAKTIAN, KEPADA SEMUA MAHKLUK-KU, BARANG SIAPA YANG TIDAK
MENGINDAHKAN AKU, AKAN TERKENA AKIBAT DARI KESAKTIAN-KU, KARENA KODRAT-KU.
Setelah selesai membaca mantra di atas, hati
ditenangkan dan rasakan sensasinya. Kadang muncul sesak nafas namun harus
ditertibkan lagi selalu ingat pada Tuhan dan sentosa. Penting untuk menjaga
agar jangan sampai kacau balau pernapasan karena nafas itu ikatan badan berada
di hati dan menjadi jembatan yang menghubungkan antara fikiran dan hati.
Bila sudah begitu roh larut lalu terasalah kram
seluruh organ tubuh, mengakibatkan mata menjadi kabur, telinga menjadi lemas,
hidungpun lemah lubang hidung menciut, lidah mengerut, akhirnya cahaya suram,
suara hilang, yang tinggal hanyalah hidupnya fikir dan dzikir saja.
Kita akan merasakan nikmat pada seluruh bagian
tubuh, melebihi kenikmatan ketika mengeluarkan rahsa saat bersenggama. Pada
saat itulah di batin akan muncul tekad yang kuat bahwa kita ini hidup langgeng
karena ada Dzat yang Maha Hidup di dalam diri kita dan kita akan karam dimabuk
rindu pada DZAT-NYA…. wallahu’alam.
PUASA KEJAWEN
1. Puasa Mutih
Puasa Mutih yakni seseorang tidak boleh makan apa – apa kecuali hanya nasi
putih dan air putih saja. Nasi putih tidak boleh tambah apa – apa. Sebelum
melakukan puasa mutih ini, biasanya seorang pelaku puasa harus mandi keramas
dulu sebelum membaca mantra ini “Niat Ingsun Poso Mutih, Mutihaken Awak Kang
Reged, Putih Kaya Bocah Mentas Lahir, Dipun Ijabahi Gusti Allah.”
2. Puasa Ngeruh
Puasa Ngeruh yakni seseorang hanya boleh memakan sayur – sayuran atau
buah – buahan saja. Tidak diperbolehkan makan daging, ikan, telur dan
sebagainya.
3. Puasa Ngebleng
Puasa Ngebleng yakni menghentikan segala aktivitas normal sehari – hari. Orang
yang menjalankan puasa ini, tidak boleh makan, minum, keluar dari rumah atau
kamar, atau melakukan hubungan badan. Waktu tidurnya pun harus dikurangi.
Biasanya seseorang yang melakukan puasa ini tidak boleh keluar kamarnya selama
sehari semalam, kecuali buang air saja. Pada saat menjelang malam hari tidak
boleh ada satu lampu atau cahayapun yang menerangi kamar tersebut. Kamarnya harus
gelap gulita tanpa ada cahaya sedikitpun.
4. Puasa Pati Geni
Puasa Pati Geni yakni hampir sama dengan puasa ngebleng, hanya saja puasa pati
geni ini pelakunya tidak boleh keluar kamar dengan alasan apapun, tidak boleh
tidur sama sekali. Biasanya puasa ini dilakukan sehari semalam, ada juga yg
melakukan nya 3 hari 3 malam, 7 hari 7 malam dan seterusnya. Pelaku biasa nya
membaca mantra : “Niat Ingsun Poso Pati Geni, Amateni Hawa Panas Ing Badan
Ingsun, Amateni Genine Napsu Angkara Murka Karana Allah Taala.”
5. Puasa Ngelowong
Puasa Ngelowong yakni seseorang dilarang makan dan minum dalam kurun waktu
tertentu. Hanya diperbolehkan tidur 3 jam saja dan diperbolehkan keluar rumah.
6. Puasa Ngrowot
Puasa ngrowot yakni puasa yang dilakukan dari subuh sampai maghrib. Saat
sahur seseorang yang melakukan puasa ini hanya dibolehkan makan buah – buahan
saja. hanya saja dibatasi oleh satu jenis buah – buahan saja, seperti pisang
maka 3 buah.
7. Puasa Nganyep
Puasa Nganyep yakni puasa yang hanya memperbolehkan memakan yang tidak ada
rasanya. Hampus sama dengan puasa Mutih, perbedaan nya, makanan nya lebih
beragam asal dengan ketentuan tidak ada rasanya.
8. Puasa Ngidang
Puasa Ngidang yakni puasa yang hanya diperbolehkan memakan dedaunan saja, dan
air putih saja. selain daripada itu tidak diperbolehkan.
9. Puasa Ngepel
Puasa Ngepel yakni puasa ini mengharuskan seseorang untuk memakan dalam sehari
satu kepal nasi saja. terkadang diperbolehkan sampai dua atau tiga kepal nasi
dalam sehari.
10. Puasa Ngasrep
Puasa Ngasrep yakni puasa yang hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak
ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan 3 kali saja dalam sehari.
11. Puasa Wungon
Puasa Wungon yakni Puasa pemungkas, tidak boleh makan dan minum juga tidak
boleh tidur selama 24 jam.
Rajah kolocokro
Batroro kolo
MAKRIFAT PUNCAK DARI ILMU kebatinan
Banyak buku mengungkapkan kisah Sunan Kalijaga. Sebatas kisah hidupnya
belaka. Buku yang ada di hadapan Anda ini tidak bertutur kata tentang kisah
Sunan Kalijaga. Meski kisahnya banyak diketahui orang, tapi tak banyak orang
yang tahu tentang ajaran yang dibawanya. Nah, yang dikemukakan dalam tulisan
ini adalah kupasan tentang ajaran dan kearifannya. Anda akan tahu bahwa banyak
praktik-praktik agama Islam di Nusantara, khususnya di Jawa, berasal dari Sunan
Kalijaga.
Ada sebuah doa bahasa Jawa yang masih diamalkan oleh orang-orang Islam di
Nusantara. Khasiat doa ini untuk menolak bala. Menyingkirkan penyakit. Mengusir
hama dan penyakit tanaman. Membebaskan diri dari jeratan hutang. Bahkan untuk
melindungi diri dalam pertempuran. Itulah doa "Rumeksa ing Wengi".
Sebuah doa yang disusun oleh Sunan Kalijaga. Sunan pun melakukan dakwah dengan
pendekatan budaya. Mungkin Anda pernah mendengar Gerebeg Mulud dan Sekaten.
Itulah cara-cara Sunan Kalijaga untuk mengajak orang lain masuk agama Islam.
Dalam Islam "wasilah" merupakan cara mendekatkan diri kepada
Tuhan. Cara yang ditempuh seseorang untuk sampai kepada-Nya. Namun, bentuk
wasilah itu diperdebatkan kebenarannya oleh para ulama. Sunan tak hendak
berdebat masalah teologi. Tapi dia memberikan contoh wasilah ala Jawa. Yang
jika dipelajari ternyata menyentuh hakikat keislaman. Sekaligus menanamkan rasa
cinta terhadap para nabi, sahabat dan keluarga Rasul. Sunah Rasul pun tidak
sesempit sebagaimana yang kita kenal selama ini. Bahkan diwujudkan secara
langsung dalam kehidupan sehari-hari secara nyata, misalnya penggunaan baju
takwa.
Diri manusia juga dikupas dengan sisi pandang yang berbeda. Mungkin Anda
pernah dengar "Sedulur papat kalima pancer", saudara empat yang
pusatnya adalah Diri manusia. Itulah ajaran makrifat Islam. Di situ keimanan
dalam Islam bukan semata-mata dipandang sebagai kepercayaan, tapi oleh Sunan
diamalkan untuk membangkitkan Sang Pribadi. Agar dapat kembali dengan sempurna
ke Hadirat-Nya.
Syariat, tarekat, dan hakikat dirajut menjadi satu. Dirajut menjadi makrifat
dalam bentuk mistik Jawa. Sehingga agama tidak sekadar menjadi formalitas
kehidupan. Tapi menjadi bagian kehidupan itu sendiri. Mistik dan makrifat yang
umumnya dipandang sebagai klenik [dalam pengertian negatif], oleh Sunan diolah
menjadi ajaran yang bermakna bagi kehidupan. Selamatan pun tak ketinggalan.
Jika selama ini selamatan hanyalah tradisi yang tidak diketahui maksudnya, maka
dalam buku ini makna dari selamatan sehari hingga seribu hari itu disajikan
dengan bahasa yang sederhana. Karena hakikat kebenaran itu satu. Maka, dengan
satu ikatan yang benar, yang juga disebut tauhid, itulah seseorang menghadap ke
Hadirat Tuhannya.
Yang terakhir mengenai reinkarnasi atau dilahirkan kembali. Banyak yang
salah paham tentang ajaran ini. Dikiranya ajaran menitis atau dilahirkan
kembali itu pengaruh dari ajaran Hindu atau Buddha. Itulah hikmah Islam yang
diambil oleh Sunan. Hikmah yang ditemukan di Jawa. Sebagaimana pesan Rasul, hikmah
adalah barang orang mukmin yang hilang, maka ambillah di manapun hikmah itu
ditemukan! Memang benar, ajaran reinkarnasi itu ada di Hindu dan Buddha. Tapi,
sebelum kedua agama itu masuk Jawa, hikmah tentang reinkarnasi itu sudah ada di
ajaran Jawa. Oleh Sunan Kalijaga ajaran reinkarnasi ini dipadukan dengan konsep
kebangkitan dari Islam.
Tanpa Kenal Lelah untuk Mencari dan Menemukan
Kebenaran yang Abadi
Kisah Bima mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis
melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan
identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup
manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran
konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan amanat bagaimana manusia kembali menuju
Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan
kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang
Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya
ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa pun’.
Jalan menuju Tuhan yang ditempuh oleh Bima dalam menuju manusia sempurna
disebutkan melalui empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat
(Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).
PENDAHULUAN
Kisah tokoh utama Bima dalam menuju manusia sempurna dalam teks wayang Dewaruci
secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus mengalami perjalanan
batin untuk menemukan identitas dirinya. Peursen (1976:68) menamakan proses ini
sebagai “identifikasi diri”, sedangkan Frans Dahler dan Julius Chandra
menyebutnya dengan proses “individuasi” (1984:128).
Proses pencarian untuk menemukan identitas diri ini sesuai dengan hadis nabi
yang berbunyi Man ‘arafa nafsahu faqad rabbahu. ‘Barang siapa mengenal dirinya
niscaya dia akan mengenal Tuhannya’. Hal ini dalam cerita Dewaruci tersurat
pada pupuh V Dhandhanggula bait 49: Telas wulangnya Sang Dewaruci, Wrekudara
ing tyas datan kewran, wus wruh mring gamane dhewe, …’Habis wejangan Sang
Dewruci. Wrekudara dalam hati tidak ragu sudah tahu terhadap jalan dirinya …’
(Marsono, 1976:107).
Nilai Filosofis Perjalanan Empat Tahap Menuju Manusia Sempurna oleh Bima
Kisah tokoh Wrekudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita Dewaruci dapat
dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat
(Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa (Mangoewidjaja,
1928:44;
Ciptoprawiro, 1986:71). Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan
dalam Wedhatama (1979:19-23), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah
cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa.
Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Syariat
Syariat (Jawa sarengat atau laku raga, sembah raga) adalah tahap laku
perjalanan menuju manusia sempurna yang paling rendah, yaitu dengan mengerjakan
amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segela hukum agama. Amalan-amalan itu
menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan
hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.
Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia dengan
manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan,
dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakaannya. Dalam
pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih-mengasihi, dan beramal
saleh.
Bagian-bagian cerita Dewaruci yang secara filosofis berkaitan dengan tahap
syariat adalah sebagai berikut.
Nilai Filosofis Bima Taat kepada Guru
Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia demikian
taat. Sewaktu ia dicegah oleh saudara-saudaranya agar tidak menjalankan
perintah gurunya, Pendeta Durna, ia tidak menghiraukan. Ia segera pergi
meninggalkan saudara-saudaranya di kerajaan guna mencari tirta pawitra. Taat
menjalankan perintah guru secara filosofis adalah sebagai realisasi salah satu
tahap syariat.
Nilai Filosofis Bima Hormat kepada Guru
Selain taat tokoh Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Ia selalu
bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya,
Pendeta Durna dan Dewaruci, ia selalu menggunakan ragam Krama. Pernyataan rasa
hormat dengan bersembah bakti dan penggunaaan ragam Krama kepada gurunya ini
secara filosofis merupakan realisasi sebagian laku syariat.
Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Tarekat
Tarekat (Jawa laku budi, sembah cipta) adalah tahap perjalanan menuju
manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah
laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan
ditingkatkan (Mulder, 1983:24). Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih
banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan
manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada tingkatan
ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali terhadap segala dosa
yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada
gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang
lain. Dalam melakukan salat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia
menambah lebih banyak salat sunat, lebih banyak berdoa, berdikir, dan
menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya
puasa wajib yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak
berjaga malam, lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan
melakukan khalwat. Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir.
Bagian-bagian cerita Dewaruci yang menyatakan sebagian tahap tarekat di
antaranya terdapat pada pupuh II Pangkur bait 29-30. Diamanatkan dalam teks ini
bahwa Bima kepada gurunya berserah diri sebagai mayat. Sehabis berperang
melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara,
Bima kembali kepada Pendeta Durna. Air suci tidak didapat. Ia menanyakan di
mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya
berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak
gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar
bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang
Pendeta”. Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis
mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga
secara penuh kepada guru ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian
tahap laku tarekat.
Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Hakikat
Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang
sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan lewat dirinya,
di antaranya dengan salat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara
terus-menerus (bdk. Zahri, 1984:88). Amalan yang dilakukan pada tahap ini
semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir
ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin (Muder, 1983:24). Dengan cara
demikian maka tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang
memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai
tersingkap, hamba akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang
ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak
berkesudahan.
Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba
dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani mencapai
kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk kepada rohani
maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga maut
tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan wujud
ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan
kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja. Maut merupakan perpindahan
rohani dari sangkar kecil kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan,
kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta yang sejati (Aceh, 1987:67).
Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian.
Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderng
gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam
keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi (Mulyono, 1978:126).
Sebagian tahap hakikat yang dilakukan atau dialami oleh tokoh Bima, di
antaranya ialah: mengenal Tuhan lewat dirinya, mengalami dan melihat dalam
suasana alam kosong, dan melihat berbagai macam cahaya (pancamaya, empat warna
cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, dan benda bagaikan boneka gading yang
bersinar).
Nilai Filosofis Bima Mulai Melihat Dirinya
Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan
hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya.
Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke
dalam badan Dewaruci.
Bima masuk ke dalam badan Dewaruci melalui “telinga kiri”. Menurut hadis, di
antaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan Ilahi, wahyu,
dan ilham pada umumnya diterima melalui “telinga kanan”. Dari telinga ini terus
ke hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa, “kiri” berarti
‘buruk, jelek, jahat, tidak jujur’, dan “kanan” berarti ‘baik (dalam arti yang
luas)’. Masuk melalui “telinga kiri” berarti bahwa sebelum mencapai
kesempurnaan Bima hatinya belum bersih (bdk. Seno-Sastroamidjojo, 1967:45-46).
Setelah Bima masuk dalam badan Dewaruci, ia kemudian melihat berhadapan
dengan dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima sewaktu kecil. Dewa
kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima waktu muda itu adalah Dewaruci;
penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri (bdk. Magnis-Suseno, 1984:115). Bima
berhadapan dengan Dewaruci yang juga merupakan dirinya dalam bentuk dewa
kerdil. Kisah Bima masuk dalam badan Dewaruci ini secara filosofis melambangkan
bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang
Tuhannya di alam kehidupan yang kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan
(bdk. Mulyono, 1982:133). Pengenlan diri lewat simbol yang demikian secara
filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.
Nilai Filosofis Bima Mengalami dan Melihat dalam Suasasa Alam Kosong
Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa dirinya
tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang jauh
tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong,
dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Keadaan yang tidak bersisi, tiada
lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang
yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh
perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan
kebakaan Allah semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak.
Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh,
1983:312). Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah
terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188). Zat Tuhan telah berada
pada diri hambabnya (Simuh, 1983:311), Bima telah sampai pada tataran hakikat.
Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat
bingung. Tiba-tiba ia melihat dengan jelas
Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata
angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari.
Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam
keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar karena tidak merasakan
dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak
sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah
sampai pada tataran hakikat.
Setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia
melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya, sinar
tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading
yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis
melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran hakikat. Ia telah menemukan
Tuhannya
Nilai Filosofis Bima Melihat Pancamaya
Tokoh utama Bima disebutkan melihat pancamaya. Pancamaya adalah cahaya yang
melambangkan hati yang sejati, inti badan. Ia menuntun kepada sifat utama.
Itulah sesungguhnya sifat. Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan
merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya.
Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya,
yaitu: merah, hitam, dan kuning.
Nilai Filosofis Bima Melihat Empat Warna Cahaya
Bima disebutkan melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan
putih. Isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang
pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya
dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan
selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu,
perangai terhadap masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui.
Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi
dan menutup kepada hal yang tidak baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang tidak
baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup (membuat buntu)
kepada hati yang selalu ingat dan waspada. Yang kuning pekerjaannya menghalangi
kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Oleh Sri
Mulyono (1982:39) nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari
warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah.
Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk
bertemu dengan Tuhannya.
Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu
menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada
berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang
merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan
sendirinya; sempurna hidupnya.
Nilai Filosofis Bima Melihat Sinar Tunggal Berwarna Delapan
Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub siji wolu
kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal
berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluiruh
warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan
Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada
bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan
menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang
Tunggal.
Nilai Filosofis Bima Melihat Benda bagaikan Boneka Gading yang Bersinar
Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat pancamaya, empat warna cahaya,
sinar tunggal berwarna delapan, ia melihat benda bagaikan boneka hading yang
bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’
kedudukannya dibabtasi oleh jasad. Dalam teks diumpamakan bagaikan lebah
tabuhan. Di dalamnya terdapat anak lebah yang menggantung menghadap ke bawah.
Akibatnya mereka tidak tahu terhadap kenyataan yang ada di atasnya (Hadiwijono,
1983:40).
Nilai Filisofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Makrifat
Makrifat (Jawa laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan menuju manusia
sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan atau
mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya (Aceh, 1987:67). Dalam tasawuf,
makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan
dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya (Nicholson, 1975:71),
meliputi zat dan sifatnya. Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran
tarekat, yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang
merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan
merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam
hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia telah
merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat
diterangkan (Nicholson, 1975:148) (Jawa tan kena kinaya ngapa) (Mulyono,
1982:47), yang dirasakan hanyalah indah (Zahri, 1984:89). Dalam masyarakat Jawa
hal ini disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula
Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga manjing warangka.
Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia.
Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi
indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan
kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain (de
Jong, 1976:69; Mulder, 1983:25). Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa
yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubingi oleh kebendaan,
syahwat, dan segala kesibukan dunia yang fana ini (Aceh, 1987:70). Tindakan
diri manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan (Subagya, 1976:85).
Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah
mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan
Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud
olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan
sinar bulan purnama menyinari bumi.
Nilai Filosofis Hamba (Bima) dengan Tuhan bagaikan Air dengan Ombak
Wujud “Yang Sesungguhnya”, yang meliputi segala yang ada di dunia, yang
hidup tidak ada yang menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu, yaitu Yang Ada
telah berada pada Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah manunggal
penglihatan dan pendengaran Bima menjadi penglihatan dan pendengaran-Nya (bdk.
Nicholson, 1975:100-1001). Badan lahir dan badan batin Suksma telah ada pada
Bima, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan
ombak, bagaikan minyak di atas air susu.
Namun, bagaimana pun juga hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson,
1975:158-159). Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan
manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono, 1983:94).
Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya, bagaikan air
dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa.
Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa Siwa disebutkan seperti
kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh
Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa
Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa
(Hadiwijono, 1983:45).
Nilai Filosofis Bima Merasakan Nikmat dan Bermanfaat
Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, tidak
berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan
kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat
tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh
kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat.
Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada
pada Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga (Hamka, 1984:139).
Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap
makrifat.
Nilai Filosofis Segala yang Dimaksud oleh Bima Tercapai
Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan
apa yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya.
Segala yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara filosofis
melambangkan bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat.
Segala yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang bertentangan
dengan hukum alam sehingga menjadi suatu keajaiban. Keajaiban itu dapat terjadi
sewaktu hamba dalam kendali Ilahi (Nicholson, 1975:132). Ada dua macam
keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali disebut keramat dan yang
kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut mukjizat (Nicholson,
1975:129).
Nilai Filosofis Bima Merasakan Bahwa Hidup dan Mati Tidak Ada Bedanya
Hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah
manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam
kematian manusia akan kembnali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan
perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas,
kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang
menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas
merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal (Marsono,
1997:799). Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara filosofis
melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat.
Nilai Filosofis Hati Bima Terang bagaikan Bunga yang Sedang Mekar
Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna dengan
Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia hatinga terang bagaikan
kuncup bunga yang sedang mekar. Dewaruci kemudian musnah. Bima kembali kepada
alam dunia semula. Ia naik ke darat kembali ke Ngamarta. Keadaan hati yang
terang benderang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis
melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.
Kesimpulan
Kisah Bima dalam mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara
filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna
menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan
tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat
amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju
Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan
kembali kepada-Nya. Ia dijadikan dari air. Ia wajib menuntut ilmu. Dalam
menuntut ilmu tugas guru hanya memberi petunjuk. Manusia tidak memiliki karena
segala yang ada adalah milik-Nya. Ia wajib selalu ingat terhadap Tuhannya, awas
dan waspada terhadap segala godaan nafsu yang tidak baik, sebab pada akhirnya
manusia akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal
dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan
kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa pun’.
Kisah perjalanan batin Bima dalam menuju manusia sempurna ini dapat dibagi
menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa
sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).
APABILA
TUHAN MEMBUKAKAN BAGIMU JALAN UNTUK MAKRIFAT, MAKA JANGAN HIRAUKAN TENTANG
AMALMU YANG MASIH SEDIKIT KERANA ALLAH S.W.T TIDAK MEMBUKA JALAN TADI MELAINKAN
DIA BERKEHENDAK MEMPERKENALKAN DIRI-NYA KEPADA KAMU.
Kalam-kalam Hikmat yang dihuraikan
terlebih dahulu mengajak kita merenung secara mendalam tentang pengertian amal,
Qadak dan Qadar, tadbir dan ikhtiar, doa dan janji Allah s.w.t , yang semuanya
itu mendidik rohani agar melihat kecilnya apa yang datangnya daripada hamba dan
betapa besar pula apa yang dikurniakan oleh Allah s.w.t. Rohani yang terdidik
begini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada amalan itu sebaliknya
melihat amalan itu sebagai kurniaan Allah s.w.t yang wajib disyukuri. Orang
yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah s.w.t tetapi
membuka hati nuraninya untuk menerima taufik dan hidayat daripada Allah s.w.t.
Orang yang hatinya suci bersih
akan menerima pancaran Nur Sir dan mata hatinya akan melihat kepada hakikat
bahawa Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi tidak
mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia mahu ditemui dan dikenali. Tidak
ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah s.w.t. Tidak
ada jalan untuk mengenal Allah s.w.t. Allah s.w.t hanya dikenali apabila Dia
memperkenalkan ‘diri-Nya’. Penemuan kepada hakikat bahawa tidak ada jalan
yang terhulur kepada gerbang makrifat merupakan puncak yang dapat dicapai
oleh ilmu. Ilmu tidak mampu pergi lebih jauh dari itu. Apabila mengetahui dan
mengakui bahawa tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah s.w.t
maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi
kepada ilmu dan amal orang lain. Bila sampai di sini seseorang itu tidak ada
pilihan lagi melainkan menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t.
Bukan senang mahu membulatkan
hati untuk menyerah bulat-bulat kepada Allah s.w.t. Ada orang yang mengetuk
pintu gerbang makrifat dengan doanya. Jika pintu itu tidak terbuka maka
semangatnya akan menurun hingga boleh membawa kepada berputus asa. Ada pula
orang yang berpegang dengan janji Allah s.w.t bahawa Dia akan membuka jalan-Nya
kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya. Kuatlah dia beramal agar dia
lebih layak untuk menerima kurniaan Allah s.w.t sebagaimana janji-Nya. Dia
menggunakan kekuatan amalannya untuk mengetuk pintu gerbang makrifat. Bila
pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia akan berasa ragu-ragu.
Dalam perjalanan mencari
makrifat seseorang tidak terlepas daripada kemungkinan menjadi ragu-ragu, lemah
semangat dan berputus asa jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah
s.w.t. Hamba tidak ada pilihan kecuali berserah kepada Allah s.w.t, hanya Dia
yang memiliki kuasa Mutlak dalam menentukan siapakah antara hamba-hamba-Nya
yang layak mengenali Diri-Nya. Ilmu dan amal hanya digunakan untuk membentuk
hati yang berserah diri kepada Allah s.w.t. Aslim atau menyerah diri kepada
Allah s.w.t adalah perhentian di hadapan pintu gerbang makrifat. Hanya para
hamba yang sampai di perhentian aslim ini yang berkemungkinan menerima kurniaan
makrifat. Allah s.w.t menyampaikan hamba-Nya di sini adalah tanda bahawa si
hamba tersebut dipersiapkan untuk menemui-Nya. Aslim adalah makam berhampiran
dengan Allah s.w.t. Sesiapa yang sampai kepada makam ini haruslah terus
membenamkan dirinya ke dalam lautan penyerahan tanpa menghiraukan banyak atau
sedikit ilmu dan amal yang dimilikinya. Sekiranya Allah s.w.t kehendaki dari
makam inilah hamba diangkat ke Hadrat-Nya.
Jalan menuju perhentian aslim
iaitu ke pintu gerbang makrifat secara umumnya terbahagi kepada dua. Jalan
pertama dinamakan jalan orang yang mencari dan jalan kedua dinamakan jalan
orang yang dicari. Orang yang mencari akan melalui jalan di mana dia kuat
melakukan mujahadah, berjuang melawan godaan hawa nafsu, kuat melakukan amal
ibadat dan gemar menuntut ilmu. Zahirnya sibuk melaksanakan tuntutan syariat
dan batinnya memperteguhkan iman. Dipelajarinya tarekat tasauf, mengenal
sifat-sifat yang tercela dan berusaha mengikiskannya daripada dirinya. Kemudian
diisikan dengan sifat-sifat yang terpuji. Dipelajarinya perjalanan nafsu dan
melatihkan dirinya agar nafsunya menjadi bertambah suci hingga meningkat ke
tahap yang diredai Allah s.w.t. Inilah orang yang diceritakan Allah s.w.t
dengan firman-Nya:

Dan
orang-orang yang berusaha dengan bersungguh-sungguh kerana memenuhi kehendak
agama Kami, sesungguhnya Kami akan memimpin mereka ke jalan-jalan Kami (yang
menjadikan mereka bergembira serta beroleh keredaan); dan sesungguhnya
(pertolongan dan bantuan) Allah adalah beserta orang-orang yang berusaha
membaiki amalannya. ( Ayat 69 : Surah al-‘Ankabut )
Wahai
manusia! Sesungguhnya engkau sentiasa berpenat - (menjalankan keadaan hidupmu)
dengan sedaya upayamu hinggalah (semasa engkau) kembali kepada Tuhanmu,
kemudian engkau tetap menemui balasan apa yang telah engkau usahakan itu
(tercatit semuanya). (Ayat 6 : Surah al-Insyiqaaq )
Orang yang bermujahadah pada jalan
Allah s.w.t dengan cara menuntut ilmu, mengamalkan ilmu yang dituntut,
memperbanyakkan ibadat, berzikir, menyucikan hati, maka Allah s.w.t menunjukkan
jalan dengan memberikan taufik dan hidayat sehingga terbuka kepadanya suasana
berserah diri kepada Allah s.w.t tanpa ragu-ragu dan reda dengan lakuan Allah
s.w.t. Dia dibawa hampir dengan pintu gerbang makrifat dan hanya Allah s.w.t
sahaja yang menentukan apakah orang tadi akan dibawa ke Hadrat-Nya ataupun
tidak, dikurniakan makrifat ataupun tidak.
Golongan orang yang dicari menempuh
jalan yang berbeza daripada golongan yang mencari. Orang yang dicari tidak
cenderung untuk menuntut ilmu atau beramal dengan tekun. Dia hidup selaku orang
awam tanpa kesungguhan bermujahadah. Tetapi, Allah s.w.t telah menentukan satu
kedudukan kerohanian kepadanya, maka takdir akan mengheretnya sampai ke
kedudukan yang telah ditentukan itu. Orang dalam golongan ini biasanya
berhadapan dengan sesuatu peristiwa yang dengan serta-merta membawa perubahan
kepada hidupnya. Perubahan sikap dan kelakuan berlaku secara mendadak. Kejadian
yang menimpanya selalunya berbentuk ujian yang memutuskan hubungannya dengan
sesuatu yang menjadi penghalang di antaranya dengan Allah s.w.t. Jika dia
seorang raja yang beban kerajaannya menyebabkan dia tidak mampu mendekati Allah
s.w.t, maka Allah s.w.t mencabut kerajaan itu daripadanya. Terlepaslah dia
daripada beban tersebut dan pada masa yang sama timbul satu keinsafan di dalam
hatinya yang membuatnya menyerahkan dirinya kepada Allah s.w.t dengan sepenuh
hatinya. Sekiranya dia seorang hartawan takdir akan memupuskan hartanya
sehingga dia tidak ada tempat bergantung kecuali Tuhan sendiri. Sekiranya dia
berkedudukan tinggi, takdir mencabut kedudukan tersebut dan ikut tercabut ialah
kemuliaan yang dimilikinya, digantikan pula dengan kehinaan sehingga dia tidak
ada tempat untuk dituju lagi kecuali kepada Allah s.w.t. Orang dalam golongan
ini dihalang oleh takdir daripada menerima bantuan daripada makhluk sehingga
mereka berputus asa terhadap makhluk. Lalu mereka kembali dengan penuh
kerendahan hati kepada Allah s.w.t dan timbullah dalam hati mereka suasana
penyerahan atau aslim yang benar-benar terhadap Allah s.w.t. Penyerahan yang
tidak mengharapkan apa-apa daripada makhluk menjadikan mereka reda dengan apa
sahaja takdir dan lakuan Allah s.w.t. Suasana begini membuat mereka sampai
dengan cepat ke perhentian pintu gerbang makrifat walaupun ilmu dan amal mereka
masih sedikit. Orang yang berjalan dengan kenderaan bala bencana mampu sampai
ke perhentian tersebut dalam masa dua bulan sedangkan orang yang mencari
mungkin sampai dalam masa dua tahun.
Abu Hurairah r.a menceritakan
yang beliau r.a mendengar Rasulullah s.a.w bersabda yang maksudnya:
Allah berfirman: “ Apabila Aku
menguji hamba-Ku yang beriman kemudian dia tidak mengeluh kepada
pengunjung-pengunjungnya maka Aku lepaskan dia dari belenggu-Ku dan Aku
gantikan baginya daging dan darah yang lebih baik dari yang dahulu dan dia
boleh memperbaharui amalnya sebab yang lalu telah diampuni semua”.
Amal kebaikan dan ilmunya
tidak mampu membawanya kepada kedudukan kerohanian yang telah ditentukan Allah
s.w.t, lalu Allah s.w.t dengan rahmat-Nya mengenakan ujian bala bencana yang
menariknya dengan cepat kepada kedudukan berhampiran dengan Allah s.w.t. Oleh
yang demikian tidak perlu dipersoalkan tentang amalan dan ilmu sekiranya
keadaan yang demikian terjadi kepada seseorang hamba-Nya